A. Pengertian
Pinangan
(meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan
pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat
dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan)
bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses
meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau
permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Seluruh
kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar)
dan"zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan
antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan
syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu,
khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan
wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad
yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas,
syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Pinangan
yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat
saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu
sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan
dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa
pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira
dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah
keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan.
Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga
batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun
Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah
jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah
sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan
saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal
dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada
takdir Allah yang menghendaki lain.
Khitbah,
meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk
menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun
keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan
hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan
dalam hadits:
?????????? ??????? ???? ?????? ??????? ?????????? ????????? ?????????? ???????????? ???? ??????? ???? ???????????? ???? ??????????????? ?????? ??????? ?????? ????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ???? ??????? ??????? ??????? ????? ???????????????? ??????? ????????? ????? ?????? ??????? ????? ???????? ????? ???????? ??????? ????? ???????? ??????????? ??????? ????????? ????????????? ??? ??????????
Dari
Abu Hurairah ra. Bahwa Rosulullah saw bersabda "………Tidak boleh
salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya……" (Muttafaq
'alaih)
Karena
itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah
dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si
pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh
si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad
nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan
kabul. Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka
perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara',
maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si
peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan.
B. Hukum
Peminangan (Khitbah)
Memang
terdapat dalam Alqur’an dan banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang
peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau
larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan
dengan kalimat yang jelas, baik dalam Alqur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh
karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’ yang
mewajibkannya.
Mayoritas
ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan
ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan
keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan
langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa
tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah
akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya
disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa
persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.
C. Syarat-Syarat
Khitbah
Membicarakan
syarat pinangan tidak dapat di pisahkan dari pembicaraan tentang halangannya.
Karena itu di sini dibicarakan dalam satu subpokok bahasan, agar di perole
gambaran yang jelas. Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi
syarat-syarat di bawah ini :
a) Tidak
adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga
(mahram), tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain,
sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya
dengan akad perkawinan.
b) Tidak
berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan
Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar
tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya "Hadits
yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini
jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari
pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama' (Hanafiah,
Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain memperbolehkan khitbah
tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.
Adapun
cara menyampaikan ucapan peminangan terdapat dua cara :
a) Menggunakan
ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami atau tidak
mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan
: “saya berkeinginan untuk menikahimu”.
b) Menggunakan
ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang berarti
ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan : “tidak
ada orang yang tidak senang kepadamu”.
Perempuan
yang belum menikah atau sudah menikah dan telah habis masa iddahnya boleh
dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran.
Tidak boleh meminang seorang perempuan yang masih punya suami, meskipun dengan
janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dinikahi; baik dengan
menggunakan bahasa terus terang seperti : “Bila kamu dicerai suamimu
saya akan menikahi kamu” atau dengan bahasa sindiran, seperti : “Jangan
khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu”.
Perempuan
yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj’i, sama keadaannya
dengan perempuan yang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang
bak dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran. Alasannya, ialah bahwa
perempuan dalam iddah talak raj’i statusnya sama dengan perempuan yang sedang
terikat dalam perkawinan. Sedangkan perempuan yang sedang menjalani iddah
karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus
terang, namun boleh meminangnya dengan bahasa sindiran
Perempuan
yang sedang menjalani iddah dari talak ba’in dalam bentuk fasakh atau talak
tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan
cara sindiran, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang kematian suami.
Kebolehan ini karena perempuan tersebut telah putus hubungannya dengan bekas suaminya.
D. Melihat
Wanita Yang Dipinang
Waktu
berlangsungnya peminangan, laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan
melihat perempuan yang dipinangnya. Meskipun menurut asalnya seorang laki-laki
haram melihat kepada seorang perempuan. Kebolehan melihat ini didasarkan kepada
hadis Nabi saw dari jabir:
??????????
??????? ???? ????????? ?????????? ?????? ?????????? ???? ??????? ??????????
????????? ???? ????????? ???? ??????? ???? ??????????? ???? ??????? ???? ??????
??????????? ???? ?????? ???? ??????? ???? ??????? ????? ????? ??????? ???????
?????? ??????? ???????? ????????? ????? ?????? ?????????? ???????????
?????? ?????????? ???? ???????? ??????? ????? ??? ????????? ?????
?????????? ???????????? ????? ?????????? ?????????
???? ????? ???????? ???????? ?????????? ????? ?????? ????????? ?????? ????????
??????? ?????? ??? ???????? ????? ?????????? ????????????????
Dari
Mu’adz bin Jabir, Rosulullah saw bersabda: “……Bila seseorang diantara
kamu meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan mendorong untuk
menikahnya, maka lakukanlah…….”
Banyak
hadis Nabi yang berkenaan dengan melihat perempuan yang dipinang, baik
menggunakan kalimat suruhan, maupun dengan menggunakan ungkapan “tidak
mengapa”. Namun tidak ditemukan secara langsung ulama’ mewajibkannya.
Bahkan juga tidak dalam literature ulama’ Dzahiri yang biasanya memahami
perintah itu sebagai suatu kewajiban. Ulama’ jumhur menetapkan hukumnya adalah
boleh, tidak sunnah apalagi menetapkan hokum wajib.
Batas
yang boleh dilihat
Meskipun
hadis Nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada
batas-batas yang boleh dilihat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama’. Alasan disamakan dengan muka dan telapak tangan saja, karena
dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannya dan dengan melihat telapak
tangannya dapat diketahui kesuburan tangannya.
Ulama’
lain seperti Al awza’iy berpendapat boleh melihat bagian-bagian yang berdaging.
Daud Dzahiri berpendapat boleh melihat semua badan, karena hadis Nabi yang
membolehkan melihat waktu meminang itu tidak menyebutkan batas-batasnya. Hal
tersebut mengandung arti “boleh” melihat bagian manapun tubuh seorang
perempuan. Walaupun yang demikian adalah aurat. Namun telah dikecualikan oleh
Nabi untuk kepentingan peminangan.
Adapun
untuk melihat kepada perempuan itu adalah saat menjelang menyapaikan pinangan
bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setelah melihat ia akan dapat
meninggalkannya tanpa menyakitinya.
E. Menikahi
Wanita Tunangan rang Lain
Di
atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal
itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari
timbulnya sengketa umat manusia. Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki
yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain,
sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.
Keadaan
keadaan perempuan yang dipinang dapat dibagi dalam tiga hal :
a) Perempuan
tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui pinangan itu secara
jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
b) Perempuan
tersebut tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang
menyatakan ketidaksetujuannya baik dengan ucapan atau dengan tindakan atau
isyarat.
c) Perempuan
itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia menyenangi
peminangan itu.
Perempuan
dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang oleh seseorang.
Sedangkan dalam keadaan kedua boleh dipinang karena pinangan pertama jelas
ditolak. Adapun perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama’
diantaranya Ahmad bin Hanbal juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan
perempuan dalam keadaan pertama. Namun, sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak
haram meminang perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan pertama.
Tentang
hukum pernikahan yang telah (terlanjur) dilaksanakan (melangsungkan akad
pernikahan dengan wanita tunangan orang lain – dalam perbedaan pendapat
ulama’-). Menurut Ahmad bin Hanbal dan Imam Asy Syafi’ie serta Imam Abu Hanifah
pernikahan tersebut adalah sah dan tidak dapat dibatalkan. Menurut ulama’
Dzahiry pernikahan tersebut tidak sah dengan arti harus dibatalkan. Sedangkan
pendapat ketiga dikalangan Malikiyah berpendapat, bila telah berlangsung hubungan
kelamin dalam pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak dibatalkan
sedangkan bila belum terjadi hubungan kelamin dalam pernikahannya maka
pernikahan tersebut harus dibatalkan.
F. Pembatalan
Tali Pertunangan
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.
Pertunangan Dalam Islam
Hubungan seksual dengan seseorang apalagi dengan tunangannya merupakan hal yang lumrah, meski pun hal tersebut dapat menyebabkan penyakit-prnyakit seksual, hamil diluar nikah, keluarga dengan satu orang tua (singgle parent) dan perilaku seksual yang tidak wajar yang sudah lazim kita lihat sekarang.
Sebagaimana pemahaman yang salah di masyarakat saat ini, pertunangan hanyalah sekedar “hubungan percobaan” antara pasangan laki-laki dan perempuan sebelum menikah atau sekedar hubungan cinta belaka atau hubungan sesaat, kadang putus dan kadang bersatu lagi. Semuanya hanyalah menjadi bagian “hubungan percobaan” itu, tanpa ada kesepakatan apapun yang dilanggar.
Pertunangan berasal dari bahasa Melayu yang memiliki kesamaan arti dengan khitbah dalam Bahasa Arab atau dikenal dengan istilah meminang. Pertunangan atau khitbah atau pinangan, yaitu satu ikatan perjanjian yang berlaku diantara pihak lelaki dan pihak perempuan untuk mendirikan rumah tangga. Khitbah dimaksudkan untuk menutup kesempatan bagi pria lain meminang perempuan yang telah dipinang. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal bagi kamu penjualan di atas penjualan orang lain, dan tidak halal bagimu pertunangan di atas pertunangan orang lain”.
Sejarah pertunangan dilitirekan oleh Yunani. Sebelum menikah, masyarakat Yunani biasa melakukan pertunangan. Dalam hal ini, seorang pria meminta wanita yang dicintainya pada ayah sang wanita untuk dinikahi. Ketika kedua belah pihak menyepakati pernikahan itu, dipanggilah pendeta untuk memberkati cincin pertunangan dan menyematkannya di jari manis kiri masing-masing pasangan. Kemudian para tamu menyambut kebahagiaan tersebut dengan mengucapkan “Kala stephand” (mahkota baik, semoga pernikahannya baik). Lucunya, kebiasaan ini tak dilakukan lagi di Athena, tapi justru berkembang di luar Athena.Dalam Islam, pertunangan pertama kali dilakukan pada masa jahiliyah. Imam Bukhari meriwayatkan melalui Aisyah ra., bahwa pada masa jahiliyah dikenal empat macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, lalu membayar mahar dan menikah. Kedua, seorang suami memerintahkan istrinya untuk menikah dengan orang lain guna memperoleh keturunan yang baik. Apabila telah hamil, ia kembali pada sang suami untuk digauli lagi. Ketiga, sekelompok laki-laki kurang dari 10 orang menggauli satu wanita. Bila wanita itu hamil dan melahirkan, ia memanggil sekelompok laki-laki tadi dan menunjuk satu diantara mereka untuk memberi nama pada sang anak. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh seorang pelacur. Sang pelacur memasang tanda di depan pintu rumah mereka dan bercampur dengan siapapun.
Setelah Islam datang, cara-cara pernikahan yang kedua, ketiga, dan keempat tersebut dilarang. Cara pernikahan pertamalah yang dibolehkan dalam Islam. Di sinilah mulai dilestarikan budaya pertunangan atau khitbah.
Meski tidak diatur secara khusus dalam Islam, namun terdapat rujukan tentang pertunangan dalam Al Qur’an dan hadits. Karenanya, perhelatan pertunangan lebih banyak mengikuti adat yang berlaku. Tiap daerah memiliki perbedaan dalam memaknai dan menyelenggarakan pertunangan.
Adat pertunangan tersebut boleh diikuti selama tidak bertentangan dengan Islam. Senada dengan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad; Rasulullah SAW bersabda, “Sesuatu perkara atau perbuatan yang dianggap baik oleh masyarakat Islam adalah baik di sisi Allah”.
Tujuan Pertunangan
Pertunangan dimaksudkan untuk membuka ruang antar pasangan untuk saling mengenal sebelum menikah, baik dari segi lahiriah maupun batiniah. Dari mughirah bin Syu’bah berkata, “Aku pernah melamar seorang wanita. Lalu Nabi SAW bersabda, “Lihatlah ia, karena yang demikian itu akan melanggengkan kasih sayang antara kalian berdua” (HR. Nasa’I, Ibnu Majah dan Tirmidzi). Dalam hal ini jumhur ulama membatasi anggota tubuh yang boleh dilihat, yaitu wajah dan kedua tangan.
Hanya Sebatas Perjanjian
Pertunangan hanya sebatas perjanjian untuk mengadakan pernikahan dan tidak mewujudkan pernikahan tersebut. Artinya, masing-masing pihak berhak untuk membatalkan. Namun bila tidak ada alasan yang tepat, maka kedua belah pihak dilarang membatalkannya. “Wahai orang-orang yang beriman, tunaikan serta sempurnakan perjanjian-perjanjian kamu” (QS. 5: 1). Dalam hal ini, pihak yang diputuskan dapat meminta ganti rugi pada pihak yang memutuskan.
Adab Pertunangan
* Setiap pertemuan dengan calon suami, hendaklah calon istri ditemani oleh mahram
* Hindari ber-khalwat (berdua-duaan)
* Pembicaraan yang diutarakan sebisa mungkin terhindar dari nafsu dan syahwat
* Dalam berpenampilan, haruslah menutup aurat sebagaimana yang telah digariskan Islam.
Masa Pertunangan
Pada hakikatnya Islam mewajibkan untuk mempersingkat masa pertunangan dan mempercepat pernikahan. Lamanya masa pertunangan dikhawatirkan akan:
* Memutuskan hubungan pertunangan, karena peluang untuk menghitung-hitung kekurangan calon suami/istri semakin lebar.
* Memberi kesempatan pada orang lain untuk menyukai salah satu calon suami/istri.
* Menambah daftar maksiat yang dibuat, karena sulitnya menghindar diri dari perbuatan dosa.
* Mengganggu prestasi studi dan kerja, karena diusik gejolak rindu.
Hukum Melamar Perempuan Yang Sudah Dilamar
(Hukum Melamar Wanita dalam Masa Iddah)
Tafsir Ayat : 235
Tafsir Ayat : 235
Sumber :
1. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
2. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
3. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)
?????????? ??????????? ????? ????????? ????? ??????? ?????? ?????????? ????? ?????? ??????? ?????????? ???? ????????????? ??????????????? ?????????? ?????????? ??????????? ????? ?????? ?????? ??????????? ?????????? ???????????? ???????????? ??????????????? ??? ???????????? ??????????????? ?????? ???????????? ????? ????????? ??????????? ???????? ????? ?????? ????? ???????? ????????
|
Meskipun
Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu kewajiban, dalam masalah
janji akan menikah ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan
yang sah menurut Islam untuk memutuskan hubungan petunangan. Misalnya,
diketahui adanya cacat fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa waktu
setelah pertunangan, yang dirasakan akan mengganggu tercapainya tujuan itu
tidak dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.
Berbeda
halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam.
Misalnya, karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan.
Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama
sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah
yang sering muncul adalah pada masa peminangan, pihak laki-laki memberikan
hadiah-hadiah pertunangan atau – mungkin – mahar telah dibayarkan kepada pihak
perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan, bagaimana nasib hadiah-hadiah atau
mahar tersebut apabila akhirnya pertunangan terputus? Apakah dikembalikan pada
pihak laki-laki atau tetap menjadi hak sepenuhnya calon istri yang urung
tersebut? Mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah (dalam masa tunangan)
menjadi hak laki-laki, kecuali apabila direlakan, sebab kewajiban suami
membayar maskawin adalah setelah terjadi ikatan pernikahan.
Sedangkan
mengenai hadiah-hadiah pertunangan, seperti tanda pengokoh (peningset atau
pikukuh di jawa) para ulama’ berbeda pendapat :
a.
Sebagian ulama' (Syafi’iyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh menuntut
kembali atas pemberiannya, baik pembatalan tunangan tersebut bersumber dari
pihak mempelai pria maupun dari mempelai wanita, dan jika barang pemberian
tersebut telah rusak atau berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya.
b.
Madzhab Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan,
maka kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan
atau rusak, maka kedua belah pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas
pemberiannya itu.
c.
Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki
pembatalan tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, dan harus
mengembalikan hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak lain baik barangnya
masih utuh ataupun telah rusak, atau berubah menjadi barang lain. Penyimpangan
dari ketentuan tersebut hanya dibanarkan apabila ada syarat lain antara
keduabelah pihak, atau apabila ‘urf (adat kebiasaan) tempat
piha-pihak bersangkutan mengatakan lain.
G. Akibat
Hukum Pinangan
Pada
prinsipnya apabila peminangan telah di lakukan oleh seorang laki-laki terhadap
seorang wanita, belum berakibat hukum. Kompilasi menegaskan :
1. pinangan
belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan
peminangan.
2. Kebebasan
memutuskan hubungan pinangan di lakukan dengan tata cara yang baik sesuai
dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan
dan saaling menghargai.
Peminangan
itu adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului pernikahan. Namun peminangan
itu bukan suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang
meminang atau pihak yang dipinang dalam masa menjelang pernikahan dapat saja
membatalkan pinangan tersebut, meskipun dulunya ia menerima. Meskipun demikian,
pemutusan peminangan tersebut sebaiknya dilakukan secara baik dan tidak
menyakiti pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara pinangan tersebut
tidak mempunyai kaitan apapun dengan mahar yang diberikan kemudian dalam
pernikahan. Dengan demikian, pemberian tersebut dapat diambil kembali bila
peminangan itu tidak berlanjut dengan pernikahan.
Hubungan
antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang selama masa
antara peminangan dan perkawinan adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan
perempuan asing (ajnabi dan ajnabiyah). Oleh karena itu, belum berlaku
hak dan kewajiban (suami-istri) diantara keduanya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
pasal 13 sendiri dibahas tentang akibat hukum suatu peminangan. “hukum”
yang dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara laki-laki
yang meminang dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak
menimbulkan akibat hukum yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat hukum
sebagaimana yang tertulis dalam pasal 12 (peraturan pinangan) ayat 3 yaitu
tidak boleh meminang wanita yang masih dalam pinangan orang lain, selama
pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
Disisis lain, dalam pasal 12 poin 1 yang berbunyi “peminangan dapat
dilakukan terhadap seorang yang masih perawan atau terhadap janda yang telah
habis masa iddahnya.” Dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya namun masih dalam masa iddah, boleh dilamar
namun harus dengan cara kinayah (sindiran) tidak boleh
menggunakan cara yangshorih (jelas). Begitu juga dengan seorang
wanita yang menjalani masa iddah dari talaq ba’in dalam bentuk fasakh atau
talaq tiga boleh dipinang namun dengan cara sindiran.
Begitulah
tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi
langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan,
mungkin karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan yang wajib
dibuat acuan malah dilupakan.
Dengan
demikian cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah awal menuju
perkawinan, namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan
diantaranya sebagai berikut:
1) Punya
rencana kapan penikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara tunangan dan
perkawinan terlalu lama.
2) Sudah
yakin siap mengikatkan diri pada satu orang.
3) Menikah
dengan motivasi yang positif.
4) Kesiapan
kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.
5) Status
pendidikan dan penghasilan pasangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs.
Ahmad Rofiq, M.A. Hukum islam di indonesia cetakan pertama PT rajawali pers.
Sabiq,
Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan
Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
Undang-undang
perkawinan Indonesia 2007 (Kompilasi Hukum
Islam). Cetakan I, WIPRESS
Azhar
Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII
Press. Yogyakarta
Bagi sebagian orang Islam, pertunangan ini
dianggap sama dengan khitbah, atau lamaran. Khitbah atau lamaran sendiri
artinya adalah permintaan dari pihak lelaki kepada wali pihak wanita untuk
menikahi si wanita tersebut. Memang perbedaan antara tunangan dan lamaran bagi
sementara orang sangat tipis, sebab keduanya adalah sama-sama salah satu tahap
pra nikah. Tetapi kalau dicermati ada perbedaan di antara keduanya yang cukup
signifikan. Berikut ini adalah beberapa fakta perbedaan antara tunangan dan
khitbah.
Pertama; Dalam hukum Islam, lamaran itu
disampaikan kepada wali calon mempelai wanita, khususnya jika ia masih gadis.
Sedangkan dalam tunangan tidak ada aturan agar tunangan itu disampaikan kepada
walinya. Pernyataan tunangan itu bisa disampaikan kepada wali, ibu, kakak
perempuan, atau bahkan calon mempelai itu sendiri.
Kedua, dalam ajaran agama Islam, jika lamaran
itu diterima maka proses pernikahan akan diusahakan bisa dilaksanakan
secepatnya. Soal rentang waktu memang relatif, tergantung kesiapan
masing-masing individu. Tetapi pada umumnya tidak sampai hitungan tahun sudah
kelar. Persoalan yang biasa cukup menghambat adalah persiapan resepsi yang
membutuhkan dana cukup besar. Sedangkan dalam tunangan, pernikahan itu masih
cukup jauh jaraknya, bahkan bisa bertahun-tahun.
Ketiga, orang yang sudah melamar seorang
wanita tetap akan menjaga diri dalam bergaul dengan calon pengantin wanitanya.
Karena keduanya belum terikat pernikahan maka keduanya masih haram untuk
bertemu, berdua-duaan di tempat yang sepi.
Sementara kebiasaan yang terjadi pada
tunangan, orang yang sudah saling bertunangan akan semakin mengeratkan hubungan
mereka. Mereka akan semakin sering bertemu, kirim kabar, atau yang semisalnya.
Kadang-kadang dalam beberapa hal sudah saling menanggung urusan tunangannya,
seperti dalam jual beli dan hutang piiutang. Bahkan hal yang dilarang dalam
masa pasca lamaran bisa dianggap boleh oleh pasangan yang telah bertunangan.
Hingga tak jarang di antara pasangan yang bertunangan ini ada yang telah
melakukan pola kehidupan layaknya suami isteri. Hal ini sudah tidak mengejutkan
lagi dalam kehidupan masyarakat saat ini. Mereka berani melakukan demikian
karena merasa sudah pasti akan dilakukannya ikatan pernikahan.
Keempat, lamaran didasari tekad yang kuat
untuk mengikat tali pernikahan. Untuk menambah kuatnya hasrat untuk menikah ini
disyari’atkan untuk nadhar (melihat) calon mempelai sebelum adanya lamaran.
Dasarnya adalah hadis nabi
????? ?????? ?????????? ??????????? ?????? ?????????? ???? ???????? ????? ??? ????????? ????? ?????????? ????????????
Apabila salah seorang di antara kalian
melamar seorang wanita, jika mampu untuk melihatnya agar mendorongnya untuk
menikahinya maka lakukanlah (HR Abu Dawud)
Adanya syari’at untuk melihat calon pasangan
sebelum melamar ini karena di dalam lamaran kedua belah pihak belum akrab.
Tetapi ini pun bukan sebuah persyaratan yang harus dilalui. Andaikata hanya
dengan melihat foto, atau mendapat cerita dari orang kepercayaannya sudah
cukup, maka dengan cara demikian pun boleh saja. Bahkan tidak melihat dan tidak
mengetahui sama sekali calonnya, karena begitu tinggi tawakkalnya, itupun
boleh.
Sementara pertunangan tidak akan ada ajaran
nadhar, sebab sejak bertahun-tahun lamanya sudah saling melihat, saling menyapa
dan bergaul, bahkan mungkin lebih dari itu. Hingga tunangan bisa dikatakan
hanyalah sekedar meningkatkan intensitas “hubungan percobaan” antara pasangan
laki-laki dan perempuan sebelum menikah atau sekedar hubungan cinta belaka atau
hubungan sesaat. Semuanya hanyalah menjadi bagian “hubungan percobaan” itu,
tanpa ada kesepakatan apapun yang dilanggar.
Antara lamaran dan tunangan memang tipis,
letak perbedaan yang paling mendasar antara keduanya adalah pada landasan
ideologis. Lamaran dilandasi oleh semangat menjalankan syari’at islam,
sementara tunangan hanya dilandasi oleh rasa suka dan cinta belaka. Khitbah
diatur dengan aturan Islam, sementara tunangan diatur dengan aturan adat dan
tradisi belaka. Khitbah terikat dengan moral islam sementara tunangan tidak ada
yang mengikatnya. Khitbah lahir dari peradaban islam, sementara tunangan lahir
dari peradaban Barat.
Sayangnya banyak kaum muslimin saat ini yang
tidak peduli dengan peristilahan yang berkembang di masyarakat. Padahal bermula
dari istilah itulah, kemudian tradisi-tradisi yang lain pun akan mengikuti.
Kita saksikan perbedaan lagi dalam pelaksanaan lamaran yang islami, biasanya
tidak ada perayaan besar-besaran. Kenapa demikian, karena masih disadari bahwa
proses ini bisa berlanjut dan bisa pula batal. Tetapi dalam tunangan
sebaliknya, justru dilakukan pesta besar, karena merupakan perayaan kesuksesan
atas fase pertama, yakni pacaran. Karena dianggap sebagai sebuah kesuksesan,
maka selayaknya diadakan pesta perayaan.
Selain perayaan yang ditandai dengan
makan-makan, kadang-kadang juga terdapat acara ritual yang diimpor dari budaya
Barat seperti tukar cincin dan budaya non Islam lainnya (misalkan memakai
pakaian dalam warna tertentu). Dalam Islam tidak dikenal tradisi tukar cincin,
lalu saling memakai cincin tanda perkawinan. Jangankan memakai cincin
perkawinan, memakai emas saja bagi kaum muslimin dilarang. Rasulullah saw
bersabda
???? ????? ?????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ????? ????? ??????? ????? ??????? ??????? ????????? ???????? ?????????? ??????????? ??????????? ????? ??????????
Dari Abu Musa, bahwa Rasulullah saw bersabda,
Sesungguhnya Allah swt menghalalkan bagi wanita umatku emas dan sutera, tetapi
mengharamkan bagi laki-laki umatku (HR an-Nasa’i)
Memakai cincin emas bagi laki-laki muslim
adalah terlarang. Melakukan tukar cincin juga terlarang, sebab hal tersebut
berarti meniru-niru tradisi non muslim. Rasulullah saw bersabda
???? ????? ?????? ????? ????? ??????? ??????? ??? ???? ???? ???? ???? ????????? ???????? ?????? ????????
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata; Rasulullah saw
bersabda; Barangsiapa meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan
mereka (HR Abu Dawud)
Islam tidak pernah mengajarkan pola hubungan
seperti tunangan itu. Khitbah dalam islam senantiasa diikat dengan nilai dan
moral Islam. Segala bentuk hubungan antara calon lelaki dan calon wanita yang
sudah melakukan khitbah adalah sama dengan hubungan laki-laki dan wanita yang
tidak terikat khitbah. Hal ini haruslah menjadi perhatian kaum muslimin, agar
tidak kehilangan jati diri dan budayanya. Allahu a’lam bish-shawab
Pertunangan adalah
istilah yang digunakan dalam masyarakat yang berarti bahwa seseorang telah
terikat janji dengan orang lain dengan maksud untuk menikah nantinya. Di negara
Barat, “tunangan” atau pertunangan ini dapat berlangsung selama bertahun tahun
tanpa ada kepastian untuk menikah dan lebih jauh lagi tanpa ada kesepakatan apa
pun. Selama tunangan, pasangan tersebut boleh bersenang-senang termasuk
melakukan hubungan seksual. Hal ini sudah tidak mengejutkan lagi dalam
kehidupan masyarakat saat ini.
Sayangnya
banyak kaum muslimin saat ini yang melakukan hal tersebut. Ketika acara
pertunangan, pesta besar pun diadakan, dimana terdapat acara ritual yang ditiru
dari budaya Barat seperti tukar cincin dan budaya non Islam lainnya (misalkan
memakai pakaian dalam warna tertentu).
Dalam
pesta-pesta seperti ini melibatkan percampuran laki-laki dan perempuan serta
aktivitas atau perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Islam. Setelah itu
pasangan tersebut mempunyai hubungan khusus, baik dengan atau tanpa hubungan
badan, sebelum menikah. Apalagi mereka berhubungan melalui surat , pembicaraan
lewat telefon ataupun saling bertemu, dan hal ini diperbolehkan karena mereka
telah bertunangan.
Dalam
Islam hubungan seperti ini tidak ada. Satu-satunya cara agar laki-laki dan
perempuan dapat mempunyai hubungan yang khusus baik secara emosional maupun
fisik adalah melalui pernikahan.
Definisi
“pertunangan“ dalam Islam
adalah kesepakatan pribadi dengan maksud untuk menikah antara laki-laki muslim
yang sesuai atau pantas dengan perempuan muslim melalui walinya, yaitu wali
Amr.Penjelasan hal ini yaitu:
1. Kesepakatan
pribadi maksudnya perjanjian rahasia antara keduanya.
2. Laki-laki
muslim yang pantas maksudnya adalah dia harus seorang muslim, baligh, dan
bijaksana.
3. Perempuan
yang pantas maksudnya adalah dia harus seorang muslim, atau perempuan ahlul
kitab (Yahudi dan Nasrani).
Dalam
memilih pasangan wanita, perlu bagi kita untuk mengingat hadits Rasulullah saw.
Abu Hurairoh menceritakan bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
”wanita
dinikahi karena empat hal yaitu karena kekayaannya, keluarganya, kecantikannya
dan agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya karena jika tidak kamu akan
menjadi orang yang merugi.”
Hadits
ini mengingatkan kita pada semua yang sudah terjebak dalam kehidupan non Islam,
dimana sekedar mencari kesenangan materi dari pasangannya. Akhirnya pertunangan
dalam Islam haruslah tetap terjaga kerahasiaannya dan jika hubungan keduanya
terputus maka keduanya dilarang untuk menceritakan apa yang telah mereka
bicarakan atau yang telah mereka lihat dari keduanya.
Dalam
Islam pertunangan bisa berlanjut pada pernikahan dan juga bisa tidak tergantung
pada keduanya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan berbagai naluri yang
membutuhkan pemenuhan, dan Allah juga memberikan kita solusi untuk memenuhinya.
Diantara naluri-naluri manusia, secara fitroh manusia mencari pasangan hidup
dan untuk itu kita memenuhi naluri tersebut melalui jalan pernikahan saja.
Setiap muslim harus ingat bahwa kita semua adalah hamba Allah swt dan bukan
menjadi budak manusia atau budak nafsu.
Cara
pertunangan dengan gaya Barat yang buruk ini tidak boleh kita terapkan dalam
kehidupan kita, karena bertolak
pada firman Allah SWT :
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia telah menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
padanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda pada kaum yang berfikir”. (QS.30:
21).
Pada suatu hari, ada kejadian yang
menyebutkan bahwa salah seorang ustadz yang juga tokoh masyarakat di ibu kota,
didatangi oleh seorang pemuda dengan maksud untuk melamar anak perempuannya
yang belum menikah, ustadz tersebut menjawab: “Anak saya sudah ada yang
melamar.”
Apakah jawaban tersebut menunjukkan bahwa
seorang perempuan yang sudah dilamar oleh laki-laki, baik perempuan tersebut
menerima, menolak, atau belum memberikan jawaban atas lamaran tersebut, pasti
tidak boleh bagi laki-laki lain untuk melamarnya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu
diketahui terlebih dahulu bahwa para ulama membagi perempuan yang telah dilamar
seorang laki-laki, menjadi tiga keadaan :
Keadaan Pertama :
Perempuan tersebut sudah dilamar oleh
laki-laki lain dan telah menerima lamarannya, maka tidak dibenarkan laki-laki
lain datang untuk melamarnya, sampai laki-laki yang pertama membatalkan
lamarannya atau mengijinkan orang lain untuk melamarnya, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim,Kairo, Dar al
Bayan, 1407/1987, jilid 3, juz 9 : 197, begitu juga oleh Ibnu Qudamah, di
dalam Al-Mughni, 10/ 567 .
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah ra,
bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
??? ???????? ????????? ????? ???????? ??????? ????? ??????? ????? ?????? ???????
“Janganlah
meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang
yang telah ditawar saudaranya.” (HR
Muslim, no : 2519 )
Di dalam riwayat Ibnu Umar ra, bahwasanya ia
berkata :
????? ?????????? ?????? ??????? ???????? ????????? ???? ??????? ?????????? ????? ?????? ?????? ????? ???????? ????????? ????? ???????? ??????? ?????? ???????? ?????????? ???????? ???? ???????? ???? ??????????
“ Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian
kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang
meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya
meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” ( HR Bukhari, no : 4746 )
Hanya saja, para ulama berbeda di dalam
menafsirkan larangan dalam hadits di atas, sebagian dari mereka mengatakan
bahwa larangan tersebut menunjukkan keharaman, sedang sebagian yang lain
berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan makruh bukan haram.
Bahkan Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah mengatakan: “Maksud dari larangan
hadits di atas, yaitu jika orang yang shalih melamar seorang perempuan, maka
tidak boleh laki-laki shalih yang lain melamarnya juga. Adapun jika pelamar
yang pertama bukan laki-laki yang shalih (orang fasik), maka dibolehkan bagi
laki-laki shalih untuk melamar perempuan tersebut.” (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid,
Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke – 10 , juz : 2 /3 )
Apa hikmah di balik pelarangan tersebut? Hikmahnya
adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena lamarannya yang sudah
menerimanya kok tiba-tiba membatalkannya hanya karena datang laki-laki lain,
dan ini akan berpotensi terjadinya permusuhan, kebencian, dan dendam antara
satu dengan yang lain.
Bagaimana hukumnya jika laki-laki kedua
bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini
:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah
bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi status pernikahan antara
keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus
dibatalkan. Ini adalah pendapat Dawud dari madzhab Zhahiriyah.
Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan
hubungan seksual , maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan
hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut
Imam Malik.
Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua
riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan tidak
batal. . ( Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid,
juz : 2 /3 )
Keadaan Kedua :
Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki
lain, tetapi perempuan tersebut menolak lamaran itu atau belum memberikan
jawaban. Di dalam mazhab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini,
yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. ( Al
Khatib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994,
Cet ke – 1, Juz : 4/ 222 )
Dalilnya adalah hadist Fatimah binti
Qais yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian
beliau datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengadu :
??????? ???????? ???????? ???????? ???? ????? ??????????? ???? ????? ????????? ??????? ?????? ?????????? ??????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ??????? ???? ????????? ???????? ??????????? ??????????? ??? ????? ???? ???????? ????????? ???? ?????? ???????????? ????? ????? ???????? ????????? ???????????? ???????? ??????? ????? ??????? ?????????????
Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “ Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu
kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm
telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun Abu Jahm adalah orang
yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul ),
sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu
nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap
bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah
telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku meras bahagia hidup
dengannya. (
HR Muslim, no : 2709 )
Berkata Imam Syafi’i menerangkan hadits di
atas :
??? ?????????? ????????? ??????? ??????? ??? ??????? ???? ???? ????? ????? ?????? ????????????? ?????????? ????? ??????? ??? ????? ??????? ???????? ????? ???????? ??????????? ?????? ???????? ???????? ??? ??????????? ????? ???????? ????????? ??? ?????????? ???? ???????? ?? ??????? ????????? ??????????? ??? ????? ??? ?????? ????????????? ?? ???????? ???? ??? ???? ?? ??????????? ??? ?????????? ??? ??????????? ????? ????? ?????? ?????? ??????? ????????????? ????? ??????????? ????????? ?????? ???????? ???? ???????? ?????????????? ?? ???????? ?????? ?????????? ?? ?????? ??????????? ?? ?????? ????????
“Fathimah telah memberitahukan Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarnya, dan
saya tidak ragu-ragu, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa lamaran
salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak
melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fathimah
telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam melamar Fathimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah
melamarnya dalam keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang wanita yang
sudah dilamar orang lain). Saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam melarang perbuatan Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan
kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar terlebih
dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar tersebut telah
menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti, orang lain tidak boleh
melamarnya lagi “ ( Al Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah,
1993, cet – 1 : Juz 5/ 64 )
Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang
menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga
orang : Jarir bin Abdullah, Marwan bin Al Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal
Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini
menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia
belum memberikan jawabannya. (Ibnu
Qudamah, al Mughni : 9/ 568 )
Keadaan Ketiga :
Perempuan yang dilamar tersebut belum
memberikan jawaban secara jelas, hanya saja ada tanda-tanda bahwa dia menerima
lamaran tersebut. Maka hukum melamar perempuan yang sudah dilamar dalam keadaan
seperti ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya :
Pendapat Pertama: Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan
tersebut sudah menerima lamaran tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah
pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadits
Ibnu Umar yang menyebutkan larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.
Pendapat Kedua: Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam
Ahmad dalam riwayat dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid (pendapat yang terbaru). Menurut
kelompok ini bahwa di dalam hadits Fathimah binti Qais menunjukkan bahwa dia
(Fathimah ) sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu
dari dua laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah
shalallahu alaihi wasallam tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini
menunjukkan kebolehan.
Selain itu, di dalam hadits tersebut tidak
disebutkan bahwa nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bertanya terlebih
dahulu sebelum melamarkan untuk Usamah, apakah Fathimah sudah cenderung kepada
salah satunya atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa kebolehan melamar seorang
perempuan secara umum selama belum memberikan jawaban pada lamaran sebelumnya.
Pendapat yang lebih benar dari dua pendapat
di atas adalah pendapat pertama yang menyatakan haram hukumnya melamar
perempuan yang sudah kelihatan kecenderungannya kepada laki-laki yang
melamarnya, walaupun belum diungkapkan dalam kata-kata, karena kecenderungan
sudah bisa dianggap sebagai persetujuan. Wallahu a’lam.
????? ??????? ?????????? ??????
?????????? ???? ???? ???????? ?????????? ???? ???????????? ??? ???????????
?????? ????? ????????? ?????????????????? ??????? ???? ??????????????? ??????
?????? ??? ????????? ??????? ??????????? ????? ?????????? ???????? ??????????
?????? ???????? ?????????? ???????? ??????????? ????? ????? ???????? ??? ???
??????????? ???????????? ??????????? ????? ????? ??????? ???????? {235}
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu
ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al-Baqarah: 235).
Ini merupakan hukum bagi wanita-wanita yang dalam iddah,
baik karena kematian suami atau perceraian talak ketiga dalam kehidupan, yaitu
diharamkan bagi selain suami yang telah mentalak tiga untuk menyatakan secara
jelas keinginannya untuk meminangnya, itulah yang dimaksudkan dalam ayat, [ ?????? ???? ??????????????? ??????] “dalam
pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia”.
Adapun sindiran Allah
Ta’ala telah meniadakan dosa padanya. Perbedaan antara kedua hal itu adalah
bahwa pengakuan yang jelas tidaklah mengandung makna kecuali pernikahan, oleh
karena itu diharamkan, karena dikhawatirkan wanita itu mempercepat dan membuat
kebohongan tentang selesainya masa iddahnya karena dorongan keinginan menikah.
Disini terdapat indikasi tentang dilarangnya sarana-sarana (yang mengantarkan)
kepada hal yang diharamkan, dan menunaikan hak untuk suami pertama adalah
dengan tidak mengadakan perjanjian dengan selain dirinya selama masa iddahnya.
Adapun sindiran memiliki kemungkinan bermakna pernikahan
dan selainnya. Maka ini boleh dilakukan terhadap wanita yang ditalak tiga
tersebut seperti dia berkata kepada wanita itu, “Sesungguhnya saya ini
berkeinginan menikah dan saya sangat senang sekali kalau kamu memberi
pendapatmu untukku ketika iddahmu telah selesai” atau semacamnya. Hal ini boleh
karena tidak seperti pernyataan secara tegas yang dalam dirinya ada dorongan
yang kuat dalam hal tersebut. Demikian juga seseorang boleh menyembunyikan
dalam dirinya keinginan menikah dengan seorang wanita yang masih dalam masa
iddahnya apabila telah selesai iddahnya. Karena itu Allah berfirman, { ???? ???????????? ??? ??????????? ??????
????? ????????? ?????????????????? } “Atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka”. Perincian ini semuanya adalah mengenai hukum-hukum
sebelum akad nikah, sedangkan akad nikah maka tidak boleh dilakukan, { ?????? ???????? ?????????? ???????? } “sampai habis iddahnya”, artinya,
sempurna masa iddahnya.
{ ??????????? ????? ????? ???????? ??? ??? ??????????? } “Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu”,
maksudnya, dan berniatlah kalian yang baik dan janganlah kalian berniat yang
jelek karena takut akan hukumanNya dan mengharap pahalaNya, [??????????? ????? ????? ??????? ] “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun” bagi
orang-orang yang melakukan dosa-dosa lalu dia bertaubat darinya dan kembali
kepada Rabbnya, {
??????? } “Lagi
Maha Penyantun”, di mana Allah tidak mempercepat hukuman atas
kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat, padahal Allah mampu melakukannya.
Pelajaran dari Ayat:
·
Haramnya mengkhitbah (melamar) seorang wanita
yang masih dalam masa iddah (masa iddahnya belum selesai), secara
terang-terangan dengan lafadz (ucapan yang jelas)
·
Bolehnya menawarkan diri kepada wanita
tersebut dengan sindiran (isyarat) atau ucapan-ucapan yang tidak
terang-terangan (seperti ucapan: ‘sesungguhnya saya ingin sekali menikah’, atau
‘jika masa iddahmu telah selesai bermusyawarahlah denganku jika engkau ingin
menikah’, atau ‘saya sangat senang dengan wanita sepertimu’, atau ucapan-ucapan
yang semisal).
·
Haramnya melakukan aqad nikah terhadap wanita
yang sedang menjalani masa iddah, dan hal ini tentunya lebih utama keharamannya
selama khitbah (melamar) diharamkan. Dan barangsiapa yang melakukan aqad nikah
dengan wanita yang belum habis masa iddahnya maka keduanya di fash (dipisahkan)
dan tidak dia halal lagi baginya setelah hukuman tersebut selamanya.
·
Wajibnya muraqabatullah (merasa adanya
pengawasan Allah Ta’ala) dalam keadaan sendirian atau dihadapan khalayak ramai,
dan membentengi diri dari peyebab-penyebab terjerumusnya kepada perbuatan
haram.
Bersambung insya Allah…
Di kumpulkan oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim
ADAB-ADAB MELAMAR PINANGAN
Pelamaran
adalah semua perbuatan yang dilakukan yang bertujuan untuk melangsungkan pernikahan.
Karenanya, sebelum terjun membicarakan tentang adab-adab melamar, maka ada
baiknya jika kita menyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang
menunjukkan keutamaan pernikahan yang sekaligus menunjukkan keutamaan melamar,
karena tidak mungkin ada pernikahan kecuali didahului oleh proses pelamaran.
Ada beberapa
dalil dari Al-Qur`an yang menunjukkan keutamaan pernikahan, di antaranya:
·
Surah Ar-Rum ayat 21.
?????? ???????? ???? ?????? ????? ????? ??????????? ?????????? ????????????? ????????? ???????? ????????? ?????????? ?????????? ????? ??? ?????? ???????? ????????? ??????????????
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS.
Ar-Rum: 21)
Surah Ar-Ra’d
ayat 38.
???????? ??????????? ??????? ???? ???????? ??????????? ?????? ?????????? ???????????? ????? ????? ????????? ??? ???????? ??????? ?????? ???????? ?????? ??????? ?????? ???????
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah.
Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar-Ra’d: 38)
·
Surah Ali ‘Imran ayat 38.
????????? ????? ?????????? ??????? ????? ????? ???? ??? ??? ????????? ?????????? ????????? ??????? ??????? ?????????
“Di
sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah
aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar
do`a”. (QS. Ali-‘Imran: 38)
·
Surah Al-Furqan ayat 54.
?????? ??????? ?????? ???? ??????? ??????? ?????????? ??????? ????????? ??????? ??????? ????????
“Dan Dia
(pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya)
keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”. (QS. Al-Furqan:
54)
Adapun sabda
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka telah datang dari beberapa
orang sahabat, di antaranya:
1. Hadits Anas
bin Malik -radhiallahu ‘anhu-.
Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada tiga orang sahabat yang mau
memfokuskan untuk beribadah dan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan, di
antaranya adalah pernikahan:
“Barangsiapa
yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
2. Hadits
‘Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
“Wahai
sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan
maka hendaknya dia menikah, karena hal tersebut lebih menundukkan pandangan dan
lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia
berpuasa karena puasa adalah benteng baginya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Beberapa perkara penting sebelum pelamaran
Sebelum
melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya memperhatikan beberapa perkara
berikut sebelum menentukan wanita mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain
berguna untuk melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah
terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak.
Berikut
penyebutan perkara-perkara tersebut:
1. Tidak boleh melamar wanita yang telah lebih dahulu dilamar oleh
saudaranya sesama muslim.
Hal ini
berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Tidak
boleh seorang lelaki melamar di atas lamaran saudaranya”1.
Dalam sebuah
riwayat:
“Kecuali
jika pelamar pertama meninggalkan lamarannya atau dia (pelamar pertama)
mengizinkan dirinya”2.
Batasan dari
larangan ini adalah kapan diketahui bahwa pelamar pertama telah meridhoi (baca:
setuju dengan) wanita tersebut dan demikian pula sebaliknya maka tidak boleh
bagi orang lain untuk melamar wanita tersebut. Jika tidak diketahui hal itu
atau bahkan diketahui bahwa salah satu pihak tidak meridhoi pihak lainnya maka
boleh ketika itu orang lain untuk melamar wanita tersebut. Hal ini sebagaimana
yang terjadi pada sahabiyah Fathimah bintu Qois, tatkala dia sudah lepas dari
‘iddah thalaqnya, maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm bersamaan
melamarnya3.
Catatan: Sebagian ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar
jika pelamar pertama adalah orang fasik atau ahli bid’ah, wallahu
A’lam.
2. Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita memperhatikan
hal-hal berikut:
(a). Kesholehan. Hal ini
berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda:
“Wanita
dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.
Karenanya,
hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya
dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak. Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita
yang paling baik:
“Wanita
yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya
dan harta suaminya”4.
Bahkan Allah -Ta’ala- berfirman:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS.
An-Nisa`: 34)
Qonitat, Sufyan Ats-Tsaury -rahimahullah- berkata, “Yakni
wanita-wanita yang mentaati Allah dan mentaati suami-suami mereka”5.
Dan Imam
Qotadah bin Di’amah berkata menafsirkan “hafizhotun
…”,
“Wanita-wanita
yang menjaga hak-hak Allah yang Allah bebankan atas mereka serta wanita-wanita
yang menjaga (dirinya) ketika suaminya tidak ada di sisinya”6.
Karenanya pula
dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika
pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam
pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan
sebaliknya. Imam Al-Hasan Al-Bashry -rahimahullah- berkata:
“Tidak
halal bagi seorang muslim (untuk menikahi) al-musafahah7 dan dzati khadanin
8?9.
‘Abdullah bin
‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
“Sesungguhnya
Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita
pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama
‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah
– Ta’ala-, ["Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali
pezina laki-laki atau musyrik laki-laki"10]. Maka Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau
bersabda, ["Jangan
kamu nikahi dia"]11.
Demikian pula
dibenci menikahi orang yang fasik atau ahli bid’ah, berdasarkan keumuman sabda
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas.
(b). Subur lagi penyayang, karenanya dibenci menikah dengan lelaki atau
wanita yang mandul. Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Pernah
datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu
berkata,”Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi
cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”,
beliau menjawab, ["tidak boleh"]. Kemudian orang ini datang untuk
kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau
melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda:
["Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya
saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat"]12.
An-Nasa`iy
-rahimahullah- memberikan judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya, “Bab:
Makruhnya menikahi orang yang mandul”.
(c). Hendaknya memilih wanita yang masih perawan. Hal ini berdasarkan Jabir bin ‘Abdillah
-radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya
kepadanya, “Wanita apa yang kamu nikahi?”,
maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
“Tidakkah
kamu menikahi wanita yang perawan?! yang kamu bisa bermain dengannya dan dia
bisa bermain denganmu?!”13.
d. ???
3. Hendaknya wali dari seorang wanita menikahkan walinya dengan lelaki
yang sebaya dengannya, maka janganlah dia menikahkan wanita yang masih muda
dengan lelaki yang sudah berumur. Dari Buraidah ibnul Hushoib -radhiallahu ‘anhu- beliau
berkata, “Abu Bakr dan ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- pernah melamar Fathimah
(anak Nabi), maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Sesungguhnya
dia masih muda”.
Kemudian
Fathimah dilamar oleh ‘Ali maka beliau (Nabi) menikahkannya”14.
4. Boleh bagi seorang lelaki untuk menawarkan putrinya atau saudarinya
atau wanita yang ada di bawah perwaliannya kepada seorang lelaki yang sholih.
Akan datang
keterangannya di awal bab setelah ini.
5. Hendaknya wali seorang wanita menikahkan wanita yang dia wakili
dengan lelaki yang baik dan tampan, dan dia tidak menikahkannya dengan orang
yang jelek kecuali dengan seizin wanita tersebut. Imam Ibnul Jauzy -rahimahullah- berkata,
“Disunnahkan
bagi orang yang akan menikahkan putrinya untuk mencari pemuda yang indah
rupanya, karena wanita juga menyenangi apa yang disenangi oleh lelaki (berupa
keindahan wajahpent.)” 15.
Demikian pula
dia jangan menikahkan putrinya kepada orang yang diduga kuat tidak akan
memenuhi kewajibannya berupa memberi nafkah kepada keluarganya. Sebagaimana
ketidaksetujuan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala Fathimah bintu Qois
dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
“Adapun
Mu’awiyah, maka dia adalah lelaki yang sangat miskin lagi tidak mempunyai harta
sama sekali”.
Demikian halnya
jika yang melamar anaknya adalah seorang yang dianggap tidak baik pergaulannya
dalam berkeluarga, sebagaimana komentar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
terhadap Abu Jahm yang juga melamar Fathimah bintu Qois:
“Adapun
Abu Jahm, maka dia adalah orang yang sering memukuli istrinya”16.
Pada suatu hari, ada kejadian yang
menyebutkan bahwa salah seorang ustadz yang juga tokoh masyarakat di ibu kota,
didatangi oleh seorang pemuda dengan maksud untuk melamar anak perempuannya
yang belum menikah, ustadz tersebut menjawab: “Anak saya sudah ada yang
melamar.”
Apakah jawaban tersebut menunjukkan bahwa
seorang perempuan yang sudah dilamar oleh laki-laki, baik perempuan tersebut
menerima, menolak, atau belum memberikan jawaban atas lamaran tersebut, pasti
tidak boleh bagi laki-laki lain untuk melamarnya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu
diketahui terlebih dahulu bahwa para ulama membagi perempuan yang telah dilamar
seorang laki-laki, menjadi tiga keadaan :
Keadaan Pertama :
Perempuan tersebut sudah dilamar oleh
laki-laki lain dan telah menerima lamarannya, maka tidak dibenarkan laki-laki
lain datang untuk melamarnya, sampai laki-laki yang pertama membatalkan
lamarannya atau mengijinkan orang lain untuk melamarnya, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim,Kairo, Dar al
Bayan, 1407/1987, jilid 3, juz 9 : 197, begitu juga oleh Ibnu Qudamah, di
dalam Al-Mughni, 10/ 567 .
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah ra,
bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
??? ???????? ????????? ????? ???????? ??????? ????? ??????? ????? ?????? ???????
“Janganlah
meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang
yang telah ditawar saudaranya.” (HR
Muslim, no : 2519 )
Di dalam riwayat Ibnu Umar ra, bahwasanya ia
berkata :
????? ?????????? ?????? ??????? ???????? ????????? ???? ??????? ?????????? ????? ?????? ?????? ????? ???????? ????????? ????? ???????? ??????? ?????? ???????? ?????????? ???????? ???? ???????? ???? ??????????
“ Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian
kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang
meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya
meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” ( HR Bukhari, no : 4746 )
Hanya saja, para ulama berbeda di dalam
menafsirkan larangan dalam hadits di atas, sebagian dari mereka mengatakan
bahwa larangan tersebut menunjukkan keharaman, sedang sebagian yang lain
berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan makruh bukan haram.
Bahkan Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah mengatakan: “Maksud dari larangan
hadits di atas, yaitu jika orang yang shalih melamar seorang perempuan, maka
tidak boleh laki-laki shalih yang lain melamarnya juga. Adapun jika pelamar
yang pertama bukan laki-laki yang shalih (orang fasik), maka dibolehkan bagi
laki-laki shalih untuk melamar perempuan tersebut.” (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid,
Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke – 10 , juz : 2 /3 )
Apa hikmah di balik pelarangan tersebut? Hikmahnya
adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena lamarannya yang sudah
menerimanya kok tiba-tiba membatalkannya hanya karena datang laki-laki lain,
dan ini akan berpotensi terjadinya permusuhan, kebencian, dan dendam antara
satu dengan yang lain.
Bagaimana hukumnya jika laki-laki kedua
bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini
:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah
bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi status pernikahan antara
keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus
dibatalkan. Ini adalah pendapat Dawud dari madzhab Zhahiriyah.
Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan
hubungan seksual , maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan
hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut
Imam Malik.
Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua
riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan tidak
batal. . ( Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid,
juz : 2 /3 )
Keadaan Kedua :
Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki
lain, tetapi perempuan tersebut menolak lamaran itu atau belum memberikan
jawaban. Di dalam mazhab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini,
yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. ( Al
Khatib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994,
Cet ke – 1, Juz : 4/ 222 )
Dalilnya adalah hadist Fatimah binti
Qais yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian
beliau datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengadu :
??????? ???????? ???????? ???????? ???? ????? ??????????? ???? ????? ????????? ??????? ?????? ?????????? ??????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ??????? ???? ????????? ???????? ??????????? ??????????? ??? ????? ???? ???????? ????????? ???? ?????? ???????????? ????? ????? ???????? ????????? ???????????? ???????? ??????? ????? ??????? ?????????????
Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “ Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu
kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm
telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun Abu Jahm adalah orang
yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul ),
sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu
nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap
bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah
telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku meras bahagia hidup
dengannya. (
HR Muslim, no : 2709 )
Berkata Imam Syafi’i menerangkan hadits di
atas :
??? ?????????? ????????? ??????? ??????? ??? ??????? ???? ???? ????? ????? ?????? ????????????? ?????????? ????? ??????? ??? ????? ??????? ???????? ????? ???????? ??????????? ?????? ???????? ???????? ??? ??????????? ????? ???????? ????????? ??? ?????????? ???? ???????? ?? ??????? ????????? ??????????? ??? ????? ??? ?????? ????????????? ?? ???????? ???? ??? ???? ?? ??????????? ??? ?????????? ??? ??????????? ????? ????? ?????? ?????? ??????? ????????????? ????? ??????????? ????????? ?????? ???????? ???? ???????? ?????????????? ?? ???????? ?????? ?????????? ?? ?????? ??????????? ?? ?????? ????????
“Fathimah telah memberitahukan Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarnya, dan
saya tidak ragu-ragu, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa lamaran
salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak
melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fathimah
telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam melamar Fathimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah
melamarnya dalam keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang wanita yang
sudah dilamar orang lain). Saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam melarang perbuatan Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan
kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar terlebih
dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar tersebut telah
menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti, orang lain tidak boleh
melamarnya lagi “ ( Al Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah,
1993, cet – 1 : Juz 5/ 64 )
Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang
menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga
orang : Jarir bin Abdullah, Marwan bin Al Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal
Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini
menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia
belum memberikan jawabannya. (Ibnu
Qudamah, al Mughni : 9/ 568 )
Keadaan Ketiga :
Perempuan yang dilamar tersebut belum
memberikan jawaban secara jelas, hanya saja ada tanda-tanda bahwa dia menerima
lamaran tersebut. Maka hukum melamar perempuan yang sudah dilamar dalam keadaan
seperti ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya :
Pendapat Pertama: Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan
tersebut sudah menerima lamaran tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah
pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadits
Ibnu Umar yang menyebutkan larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.
Pendapat Kedua: Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam
Ahmad dalam riwayat dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid (pendapat yang terbaru). Menurut
kelompok ini bahwa di dalam hadits Fathimah binti Qais menunjukkan bahwa dia
(Fathimah ) sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu
dari dua laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah
shalallahu alaihi wasallam tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini
menunjukkan kebolehan.
Selain itu, di dalam hadits tersebut tidak
disebutkan bahwa nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bertanya terlebih
dahulu sebelum melamarkan untuk Usamah, apakah Fathimah sudah cenderung kepada
salah satunya atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa kebolehan melamar seorang
perempuan secara umum selama belum memberikan jawaban pada lamaran sebelumnya.
Pendapat yang lebih benar dari dua pendapat
di atas adalah pendapat pertama yang menyatakan haram hukumnya melamar
perempuan yang sudah kelihatan kecenderungannya kepada laki-laki yang
melamarnya, walaupun belum diungkapkan dalam kata-kata, karena kecenderungan
sudah bisa dianggap sebagai persetujuan. Wallahu a’lam.
????? ??????? ?????????? ??????
?????????? ???? ???? ???????? ?????????? ???? ???????????? ??? ???????????
?????? ????? ????????? ?????????????????? ??????? ???? ??????????????? ??????
?????? ??? ????????? ??????? ??????????? ????? ?????????? ???????? ??????????
?????? ???????? ?????????? ???????? ??????????? ????? ????? ???????? ??? ???
??????????? ???????????? ??????????? ????? ????? ??????? ???????? {235}
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu
ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al-Baqarah: 235).
Ini merupakan hukum bagi wanita-wanita yang dalam iddah,
baik karena kematian suami atau perceraian talak ketiga dalam kehidupan, yaitu
diharamkan bagi selain suami yang telah mentalak tiga untuk menyatakan secara
jelas keinginannya untuk meminangnya, itulah yang dimaksudkan dalam ayat, [ ?????? ???? ??????????????? ??????] “dalam
pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia”.
Adapun sindiran Allah
Ta’ala telah meniadakan dosa padanya. Perbedaan antara kedua hal itu adalah
bahwa pengakuan yang jelas tidaklah mengandung makna kecuali pernikahan, oleh
karena itu diharamkan, karena dikhawatirkan wanita itu mempercepat dan membuat
kebohongan tentang selesainya masa iddahnya karena dorongan keinginan menikah.
Disini terdapat indikasi tentang dilarangnya sarana-sarana (yang mengantarkan)
kepada hal yang diharamkan, dan menunaikan hak untuk suami pertama adalah
dengan tidak mengadakan perjanjian dengan selain dirinya selama masa iddahnya.
Adapun sindiran memiliki kemungkinan bermakna pernikahan
dan selainnya. Maka ini boleh dilakukan terhadap wanita yang ditalak tiga
tersebut seperti dia berkata kepada wanita itu, “Sesungguhnya saya ini
berkeinginan menikah dan saya sangat senang sekali kalau kamu memberi
pendapatmu untukku ketika iddahmu telah selesai” atau semacamnya. Hal ini boleh
karena tidak seperti pernyataan secara tegas yang dalam dirinya ada dorongan
yang kuat dalam hal tersebut. Demikian juga seseorang boleh menyembunyikan
dalam dirinya keinginan menikah dengan seorang wanita yang masih dalam masa
iddahnya apabila telah selesai iddahnya. Karena itu Allah berfirman, { ???? ???????????? ??? ??????????? ??????
????? ????????? ?????????????????? } “Atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka”. Perincian ini semuanya adalah mengenai hukum-hukum
sebelum akad nikah, sedangkan akad nikah maka tidak boleh dilakukan, { ?????? ???????? ?????????? ???????? } “sampai habis iddahnya”, artinya,
sempurna masa iddahnya.
{ ??????????? ????? ????? ???????? ??? ??? ??????????? } “Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu”,
maksudnya, dan berniatlah kalian yang baik dan janganlah kalian berniat yang
jelek karena takut akan hukumanNya dan mengharap pahalaNya, [??????????? ????? ????? ??????? ] “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun” bagi
orang-orang yang melakukan dosa-dosa lalu dia bertaubat darinya dan kembali
kepada Rabbnya, {
??????? } “Lagi
Maha Penyantun”, di mana Allah tidak mempercepat hukuman atas
kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat, padahal Allah mampu melakukannya.
Pelajaran dari Ayat:
·
Haramnya mengkhitbah (melamar) seorang wanita
yang masih dalam masa iddah (masa iddahnya belum selesai), secara
terang-terangan dengan lafadz (ucapan yang jelas)
·
Bolehnya menawarkan diri kepada wanita
tersebut dengan sindiran (isyarat) atau ucapan-ucapan yang tidak
terang-terangan (seperti ucapan: ‘sesungguhnya saya ingin sekali menikah’, atau
‘jika masa iddahmu telah selesai bermusyawarahlah denganku jika engkau ingin
menikah’, atau ‘saya sangat senang dengan wanita sepertimu’, atau ucapan-ucapan
yang semisal).
·
Haramnya melakukan aqad nikah terhadap wanita
yang sedang menjalani masa iddah, dan hal ini tentunya lebih utama keharamannya
selama khitbah (melamar) diharamkan. Dan barangsiapa yang melakukan aqad nikah
dengan wanita yang belum habis masa iddahnya maka keduanya di fash (dipisahkan)
dan tidak dia halal lagi baginya setelah hukuman tersebut selamanya.
·
Wajibnya muraqabatullah (merasa adanya
pengawasan Allah Ta’ala) dalam keadaan sendirian atau dihadapan khalayak ramai,
dan membentengi diri dari peyebab-penyebab terjerumusnya kepada perbuatan
haram.
Bersambung insya Allah…
Di kumpulkan oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim
ADAB-ADAB MELAMAR PINANGAN
Pelamaran
adalah semua perbuatan yang dilakukan yang bertujuan untuk melangsungkan pernikahan.
Karenanya, sebelum terjun membicarakan tentang adab-adab melamar, maka ada
baiknya jika kita menyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang
menunjukkan keutamaan pernikahan yang sekaligus menunjukkan keutamaan melamar,
karena tidak mungkin ada pernikahan kecuali didahului oleh proses pelamaran.
Ada beberapa
dalil dari Al-Qur`an yang menunjukkan keutamaan pernikahan, di antaranya:
·
Surah Ar-Rum ayat 21.
?????? ???????? ???? ?????? ????? ????? ??????????? ?????????? ????????????? ????????? ???????? ????????? ?????????? ?????????? ????? ??? ?????? ???????? ????????? ??????????????
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS.
Ar-Rum: 21)
Surah Ar-Ra’d
ayat 38.
???????? ??????????? ??????? ???? ???????? ??????????? ?????? ?????????? ???????????? ????? ????? ????????? ??? ???????? ??????? ?????? ???????? ?????? ??????? ?????? ???????
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah.
Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar-Ra’d: 38)
·
Surah Ali ‘Imran ayat 38.
????????? ????? ?????????? ??????? ????? ????? ???? ??? ??? ????????? ?????????? ????????? ??????? ??????? ?????????
“Di
sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah
aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar
do`a”. (QS. Ali-‘Imran: 38)
·
Surah Al-Furqan ayat 54.
?????? ??????? ?????? ???? ??????? ??????? ?????????? ??????? ????????? ??????? ??????? ????????
“Dan Dia
(pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya)
keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”. (QS. Al-Furqan:
54)
Adapun sabda
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka telah datang dari beberapa
orang sahabat, di antaranya:
1. Hadits Anas
bin Malik -radhiallahu ‘anhu-.
Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada tiga orang sahabat yang mau
memfokuskan untuk beribadah dan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan, di
antaranya adalah pernikahan:
“Barangsiapa
yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
2. Hadits
‘Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
“Wahai
sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan
maka hendaknya dia menikah, karena hal tersebut lebih menundukkan pandangan dan
lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia
berpuasa karena puasa adalah benteng baginya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Beberapa perkara penting sebelum pelamaran
Sebelum
melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya memperhatikan beberapa perkara
berikut sebelum menentukan wanita mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain
berguna untuk melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah
terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak.
Berikut
penyebutan perkara-perkara tersebut:
1. Tidak boleh melamar wanita yang telah lebih dahulu dilamar oleh
saudaranya sesama muslim.
Hal ini
berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Tidak
boleh seorang lelaki melamar di atas lamaran saudaranya”1.
Dalam sebuah
riwayat:
“Kecuali
jika pelamar pertama meninggalkan lamarannya atau dia (pelamar pertama)
mengizinkan dirinya”2.
Batasan dari
larangan ini adalah kapan diketahui bahwa pelamar pertama telah meridhoi (baca:
setuju dengan) wanita tersebut dan demikian pula sebaliknya maka tidak boleh
bagi orang lain untuk melamar wanita tersebut. Jika tidak diketahui hal itu
atau bahkan diketahui bahwa salah satu pihak tidak meridhoi pihak lainnya maka
boleh ketika itu orang lain untuk melamar wanita tersebut. Hal ini sebagaimana
yang terjadi pada sahabiyah Fathimah bintu Qois, tatkala dia sudah lepas dari
‘iddah thalaqnya, maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm bersamaan
melamarnya3.
Catatan: Sebagian ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar
jika pelamar pertama adalah orang fasik atau ahli bid’ah, wallahu
A’lam.
2. Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita memperhatikan
hal-hal berikut:
(a). Kesholehan. Hal ini
berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda:
“Wanita
dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.
Karenanya,
hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya
dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak. Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita
yang paling baik:
“Wanita
yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya
dan harta suaminya”4.
Bahkan Allah -Ta’ala- berfirman:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS.
An-Nisa`: 34)
Qonitat, Sufyan Ats-Tsaury -rahimahullah- berkata, “Yakni
wanita-wanita yang mentaati Allah dan mentaati suami-suami mereka”5.
Dan Imam
Qotadah bin Di’amah berkata menafsirkan “hafizhotun
…”,
“Wanita-wanita
yang menjaga hak-hak Allah yang Allah bebankan atas mereka serta wanita-wanita
yang menjaga (dirinya) ketika suaminya tidak ada di sisinya”6.
Karenanya pula
dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika
pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam
pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan
sebaliknya. Imam Al-Hasan Al-Bashry -rahimahullah- berkata:
“Tidak
halal bagi seorang muslim (untuk menikahi) al-musafahah7 dan dzati khadanin
8?9.
‘Abdullah bin
‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
“Sesungguhnya
Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita
pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama
‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah
– Ta’ala-, ["Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali
pezina laki-laki atau musyrik laki-laki"10]. Maka Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau
bersabda, ["Jangan
kamu nikahi dia"]11.
Demikian pula
dibenci menikahi orang yang fasik atau ahli bid’ah, berdasarkan keumuman sabda
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas.
(b). Subur lagi penyayang, karenanya dibenci menikah dengan lelaki atau
wanita yang mandul. Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Pernah
datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu
berkata,”Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi
cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”,
beliau menjawab, ["tidak boleh"]. Kemudian orang ini datang untuk
kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau
melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda:
["Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya
saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat"]12.
An-Nasa`iy
-rahimahullah- memberikan judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya, “Bab:
Makruhnya menikahi orang yang mandul”.
(c). Hendaknya memilih wanita yang masih perawan. Hal ini berdasarkan Jabir bin ‘Abdillah
-radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya
kepadanya, “Wanita apa yang kamu nikahi?”,
maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
“Tidakkah
kamu menikahi wanita yang perawan?! yang kamu bisa bermain dengannya dan dia
bisa bermain denganmu?!”13.
d. ???
3. Hendaknya wali dari seorang wanita menikahkan walinya dengan lelaki
yang sebaya dengannya, maka janganlah dia menikahkan wanita yang masih muda
dengan lelaki yang sudah berumur. Dari Buraidah ibnul Hushoib -radhiallahu ‘anhu- beliau
berkata, “Abu Bakr dan ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- pernah melamar Fathimah
(anak Nabi), maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Sesungguhnya
dia masih muda”.
Kemudian
Fathimah dilamar oleh ‘Ali maka beliau (Nabi) menikahkannya”14.
4. Boleh bagi seorang lelaki untuk menawarkan putrinya atau saudarinya
atau wanita yang ada di bawah perwaliannya kepada seorang lelaki yang sholih.
Akan datang
keterangannya di awal bab setelah ini.
5. Hendaknya wali seorang wanita menikahkan wanita yang dia wakili
dengan lelaki yang baik dan tampan, dan dia tidak menikahkannya dengan orang
yang jelek kecuali dengan seizin wanita tersebut. Imam Ibnul Jauzy -rahimahullah- berkata,
“Disunnahkan
bagi orang yang akan menikahkan putrinya untuk mencari pemuda yang indah
rupanya, karena wanita juga menyenangi apa yang disenangi oleh lelaki (berupa
keindahan wajahpent.)” 15.
Demikian pula
dia jangan menikahkan putrinya kepada orang yang diduga kuat tidak akan
memenuhi kewajibannya berupa memberi nafkah kepada keluarganya. Sebagaimana
ketidaksetujuan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala Fathimah bintu Qois
dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
“Adapun
Mu’awiyah, maka dia adalah lelaki yang sangat miskin lagi tidak mempunyai harta
sama sekali”.
Demikian halnya
jika yang melamar anaknya adalah seorang yang dianggap tidak baik pergaulannya
dalam berkeluarga, sebagaimana komentar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
terhadap Abu Jahm yang juga melamar Fathimah bintu Qois:
“Adapun
Abu Jahm, maka dia adalah orang yang sering memukuli istrinya”16.
A. Pengertian
Pinangan
(meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan
pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat
dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan)
bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses
meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau
permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Seluruh
kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar)
dan"zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan
antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan
syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu,
khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan
wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad
yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas,
syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Pinangan
yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat
saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu
sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan
dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa
pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira
dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah
keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan.
Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga
batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun
Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah
jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah
sebaiknya dilakukan sebelum khitbah. Khitbah dilaksanakan
saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal
dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada
takdir Allah yang menghendaki lain.
Khitbah,
meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk
menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun
keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan
hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan
dalam hadits:
?????????? ??????? ???? ?????? ??????? ?????????? ????????? ?????????? ???????????? ???? ??????? ???? ???????????? ???? ??????????????? ?????? ??????? ?????? ????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ???? ??????? ??????? ??????? ????? ???????????????? ??????? ????????? ????? ?????? ??????? ????? ???????? ????? ???????? ??????? ????? ???????? ??????????? ??????? ????????? ????????????? ??? ??????????
Dari
Abu Hurairah ra. Bahwa Rosulullah saw bersabda "………Tidak boleh
salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya……" (Muttafaq
'alaih)
Karena
itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah
dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si
pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh
si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad
nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan
kabul. Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka
perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara',
maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si
peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan.
B. Hukum
Peminangan (Khitbah)
Memang
terdapat dalam Alqur’an dan banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang
peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau
larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan
dengan kalimat yang jelas, baik dalam Alqur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh
karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’ yang
mewajibkannya.
Mayoritas
ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan
ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan
keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan
langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa
tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah
akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya
disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa
persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.
C. Syarat-Syarat
Khitbah
Membicarakan
syarat pinangan tidak dapat di pisahkan dari pembicaraan tentang halangannya.
Karena itu di sini dibicarakan dalam satu subpokok bahasan, agar di perole
gambaran yang jelas. Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi
syarat-syarat di bawah ini :
a) Tidak
adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga
(mahram), tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain,
sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya
dengan akad perkawinan.
b) Tidak
berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan
Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar
tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya "Hadits
yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini
jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari
pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama' (Hanafiah,
Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain memperbolehkan khitbah
tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.
Adapun
cara menyampaikan ucapan peminangan terdapat dua cara :
a) Menggunakan
ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami atau tidak
mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan
: “saya berkeinginan untuk menikahimu”.
b) Menggunakan
ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang berarti
ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan : “tidak
ada orang yang tidak senang kepadamu”.
Perempuan
yang belum menikah atau sudah menikah dan telah habis masa iddahnya boleh
dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran.
Tidak boleh meminang seorang perempuan yang masih punya suami, meskipun dengan
janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dinikahi; baik dengan
menggunakan bahasa terus terang seperti : “Bila kamu dicerai suamimu
saya akan menikahi kamu” atau dengan bahasa sindiran, seperti : “Jangan
khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu”.
Perempuan
yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj’i, sama keadaannya
dengan perempuan yang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang
bak dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran. Alasannya, ialah bahwa
perempuan dalam iddah talak raj’i statusnya sama dengan perempuan yang sedang
terikat dalam perkawinan. Sedangkan perempuan yang sedang menjalani iddah
karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus
terang, namun boleh meminangnya dengan bahasa sindiran
Perempuan
yang sedang menjalani iddah dari talak ba’in dalam bentuk fasakh atau talak
tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan
cara sindiran, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang kematian suami.
Kebolehan ini karena perempuan tersebut telah putus hubungannya dengan bekas suaminya.
D. Melihat
Wanita Yang Dipinang
Waktu
berlangsungnya peminangan, laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan
melihat perempuan yang dipinangnya. Meskipun menurut asalnya seorang laki-laki
haram melihat kepada seorang perempuan. Kebolehan melihat ini didasarkan kepada
hadis Nabi saw dari jabir:
??????????
??????? ???? ????????? ?????????? ?????? ?????????? ???? ??????? ??????????
????????? ???? ????????? ???? ??????? ???? ??????????? ???? ??????? ???? ??????
??????????? ???? ?????? ???? ??????? ???? ??????? ????? ????? ??????? ???????
?????? ??????? ???????? ????????? ????? ?????? ?????????? ???????????
?????? ?????????? ???? ???????? ??????? ????? ??? ????????? ?????
?????????? ???????????? ????? ?????????? ?????????
???? ????? ???????? ???????? ?????????? ????? ?????? ????????? ?????? ????????
??????? ?????? ??? ???????? ????? ?????????? ????????????????
Dari
Mu’adz bin Jabir, Rosulullah saw bersabda: “……Bila seseorang diantara
kamu meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan mendorong untuk
menikahnya, maka lakukanlah…….”
Banyak
hadis Nabi yang berkenaan dengan melihat perempuan yang dipinang, baik
menggunakan kalimat suruhan, maupun dengan menggunakan ungkapan “tidak
mengapa”. Namun tidak ditemukan secara langsung ulama’ mewajibkannya.
Bahkan juga tidak dalam literature ulama’ Dzahiri yang biasanya memahami
perintah itu sebagai suatu kewajiban. Ulama’ jumhur menetapkan hukumnya adalah
boleh, tidak sunnah apalagi menetapkan hokum wajib.
Batas
yang boleh dilihat
Meskipun
hadis Nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada
batas-batas yang boleh dilihat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat
dikalangan ulama’. Alasan disamakan dengan muka dan telapak tangan saja, karena
dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannya dan dengan melihat telapak
tangannya dapat diketahui kesuburan tangannya.
Ulama’
lain seperti Al awza’iy berpendapat boleh melihat bagian-bagian yang berdaging.
Daud Dzahiri berpendapat boleh melihat semua badan, karena hadis Nabi yang
membolehkan melihat waktu meminang itu tidak menyebutkan batas-batasnya. Hal
tersebut mengandung arti “boleh” melihat bagian manapun tubuh seorang
perempuan. Walaupun yang demikian adalah aurat. Namun telah dikecualikan oleh
Nabi untuk kepentingan peminangan.
Adapun
untuk melihat kepada perempuan itu adalah saat menjelang menyapaikan pinangan
bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setelah melihat ia akan dapat
meninggalkannya tanpa menyakitinya.
E. Menikahi
Wanita Tunangan rang Lain
Di
atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal
itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari
timbulnya sengketa umat manusia. Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki
yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain,
sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.
Keadaan
keadaan perempuan yang dipinang dapat dibagi dalam tiga hal :
a) Perempuan
tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui pinangan itu secara
jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
b) Perempuan
tersebut tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang
menyatakan ketidaksetujuannya baik dengan ucapan atau dengan tindakan atau
isyarat.
c) Perempuan
itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia menyenangi
peminangan itu.
Perempuan
dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang oleh seseorang.
Sedangkan dalam keadaan kedua boleh dipinang karena pinangan pertama jelas
ditolak. Adapun perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama’
diantaranya Ahmad bin Hanbal juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan
perempuan dalam keadaan pertama. Namun, sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak
haram meminang perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan pertama.
Tentang
hukum pernikahan yang telah (terlanjur) dilaksanakan (melangsungkan akad
pernikahan dengan wanita tunangan orang lain – dalam perbedaan pendapat
ulama’-). Menurut Ahmad bin Hanbal dan Imam Asy Syafi’ie serta Imam Abu Hanifah
pernikahan tersebut adalah sah dan tidak dapat dibatalkan. Menurut ulama’
Dzahiry pernikahan tersebut tidak sah dengan arti harus dibatalkan. Sedangkan
pendapat ketiga dikalangan Malikiyah berpendapat, bila telah berlangsung hubungan
kelamin dalam pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak dibatalkan
sedangkan bila belum terjadi hubungan kelamin dalam pernikahannya maka
pernikahan tersebut harus dibatalkan.
F. Pembatalan
Tali Pertunangan
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.
Pertunangan Dalam Islam
Hubungan seksual dengan seseorang apalagi dengan tunangannya merupakan hal yang lumrah, meski pun hal tersebut dapat menyebabkan penyakit-prnyakit seksual, hamil diluar nikah, keluarga dengan satu orang tua (singgle parent) dan perilaku seksual yang tidak wajar yang sudah lazim kita lihat sekarang.
Sebagaimana pemahaman yang salah di masyarakat saat ini, pertunangan hanyalah sekedar “hubungan percobaan” antara pasangan laki-laki dan perempuan sebelum menikah atau sekedar hubungan cinta belaka atau hubungan sesaat, kadang putus dan kadang bersatu lagi. Semuanya hanyalah menjadi bagian “hubungan percobaan” itu, tanpa ada kesepakatan apapun yang dilanggar.
Pertunangan berasal dari bahasa Melayu yang memiliki kesamaan arti dengan khitbah dalam Bahasa Arab atau dikenal dengan istilah meminang. Pertunangan atau khitbah atau pinangan, yaitu satu ikatan perjanjian yang berlaku diantara pihak lelaki dan pihak perempuan untuk mendirikan rumah tangga. Khitbah dimaksudkan untuk menutup kesempatan bagi pria lain meminang perempuan yang telah dipinang. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal bagi kamu penjualan di atas penjualan orang lain, dan tidak halal bagimu pertunangan di atas pertunangan orang lain”.
Sejarah pertunangan dilitirekan oleh Yunani. Sebelum menikah, masyarakat Yunani biasa melakukan pertunangan. Dalam hal ini, seorang pria meminta wanita yang dicintainya pada ayah sang wanita untuk dinikahi. Ketika kedua belah pihak menyepakati pernikahan itu, dipanggilah pendeta untuk memberkati cincin pertunangan dan menyematkannya di jari manis kiri masing-masing pasangan. Kemudian para tamu menyambut kebahagiaan tersebut dengan mengucapkan “Kala stephand” (mahkota baik, semoga pernikahannya baik). Lucunya, kebiasaan ini tak dilakukan lagi di Athena, tapi justru berkembang di luar Athena.Dalam Islam, pertunangan pertama kali dilakukan pada masa jahiliyah. Imam Bukhari meriwayatkan melalui Aisyah ra., bahwa pada masa jahiliyah dikenal empat macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, lalu membayar mahar dan menikah. Kedua, seorang suami memerintahkan istrinya untuk menikah dengan orang lain guna memperoleh keturunan yang baik. Apabila telah hamil, ia kembali pada sang suami untuk digauli lagi. Ketiga, sekelompok laki-laki kurang dari 10 orang menggauli satu wanita. Bila wanita itu hamil dan melahirkan, ia memanggil sekelompok laki-laki tadi dan menunjuk satu diantara mereka untuk memberi nama pada sang anak. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh seorang pelacur. Sang pelacur memasang tanda di depan pintu rumah mereka dan bercampur dengan siapapun.
Setelah Islam datang, cara-cara pernikahan yang kedua, ketiga, dan keempat tersebut dilarang. Cara pernikahan pertamalah yang dibolehkan dalam Islam. Di sinilah mulai dilestarikan budaya pertunangan atau khitbah.
Meski tidak diatur secara khusus dalam Islam, namun terdapat rujukan tentang pertunangan dalam Al Qur’an dan hadits. Karenanya, perhelatan pertunangan lebih banyak mengikuti adat yang berlaku. Tiap daerah memiliki perbedaan dalam memaknai dan menyelenggarakan pertunangan.
Adat pertunangan tersebut boleh diikuti selama tidak bertentangan dengan Islam. Senada dengan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad; Rasulullah SAW bersabda, “Sesuatu perkara atau perbuatan yang dianggap baik oleh masyarakat Islam adalah baik di sisi Allah”.
Tujuan Pertunangan
Pertunangan dimaksudkan untuk membuka ruang antar pasangan untuk saling mengenal sebelum menikah, baik dari segi lahiriah maupun batiniah. Dari mughirah bin Syu’bah berkata, “Aku pernah melamar seorang wanita. Lalu Nabi SAW bersabda, “Lihatlah ia, karena yang demikian itu akan melanggengkan kasih sayang antara kalian berdua” (HR. Nasa’I, Ibnu Majah dan Tirmidzi). Dalam hal ini jumhur ulama membatasi anggota tubuh yang boleh dilihat, yaitu wajah dan kedua tangan.
Hanya Sebatas Perjanjian
Pertunangan hanya sebatas perjanjian untuk mengadakan pernikahan dan tidak mewujudkan pernikahan tersebut. Artinya, masing-masing pihak berhak untuk membatalkan. Namun bila tidak ada alasan yang tepat, maka kedua belah pihak dilarang membatalkannya. “Wahai orang-orang yang beriman, tunaikan serta sempurnakan perjanjian-perjanjian kamu” (QS. 5: 1). Dalam hal ini, pihak yang diputuskan dapat meminta ganti rugi pada pihak yang memutuskan.
Adab Pertunangan
* Setiap pertemuan dengan calon suami, hendaklah calon istri ditemani oleh mahram
* Hindari ber-khalwat (berdua-duaan)
* Pembicaraan yang diutarakan sebisa mungkin terhindar dari nafsu dan syahwat
* Dalam berpenampilan, haruslah menutup aurat sebagaimana yang telah digariskan Islam.
Masa Pertunangan
Pada hakikatnya Islam mewajibkan untuk mempersingkat masa pertunangan dan mempercepat pernikahan. Lamanya masa pertunangan dikhawatirkan akan:
* Memutuskan hubungan pertunangan, karena peluang untuk menghitung-hitung kekurangan calon suami/istri semakin lebar.
* Memberi kesempatan pada orang lain untuk menyukai salah satu calon suami/istri.
* Menambah daftar maksiat yang dibuat, karena sulitnya menghindar diri dari perbuatan dosa.
* Mengganggu prestasi studi dan kerja, karena diusik gejolak rindu.
Hukum Melamar Perempuan Yang Sudah Dilamar
(Hukum Melamar Wanita dalam Masa Iddah)
Tafsir Ayat : 235
Tafsir Ayat : 235
Sumber :
1. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
2. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
3. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)
?????????? ??????????? ????? ????????? ????? ??????? ?????? ?????????? ????? ?????? ??????? ?????????? ???? ????????????? ??????????????? ?????????? ?????????? ??????????? ????? ?????? ?????? ??????????? ?????????? ???????????? ???????????? ??????????????? ??? ???????????? ??????????????? ?????? ???????????? ????? ????????? ??????????? ???????? ????? ?????? ????? ???????? ????????
|
Meskipun
Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu kewajiban, dalam masalah
janji akan menikah ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan
yang sah menurut Islam untuk memutuskan hubungan petunangan. Misalnya,
diketahui adanya cacat fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa waktu
setelah pertunangan, yang dirasakan akan mengganggu tercapainya tujuan itu
tidak dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.
Berbeda
halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam.
Misalnya, karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan.
Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama
sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah
yang sering muncul adalah pada masa peminangan, pihak laki-laki memberikan
hadiah-hadiah pertunangan atau – mungkin – mahar telah dibayarkan kepada pihak
perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan, bagaimana nasib hadiah-hadiah atau
mahar tersebut apabila akhirnya pertunangan terputus? Apakah dikembalikan pada
pihak laki-laki atau tetap menjadi hak sepenuhnya calon istri yang urung
tersebut? Mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah (dalam masa tunangan)
menjadi hak laki-laki, kecuali apabila direlakan, sebab kewajiban suami
membayar maskawin adalah setelah terjadi ikatan pernikahan.
Sedangkan
mengenai hadiah-hadiah pertunangan, seperti tanda pengokoh (peningset atau
pikukuh di jawa) para ulama’ berbeda pendapat :
a.
Sebagian ulama' (Syafi’iyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh menuntut
kembali atas pemberiannya, baik pembatalan tunangan tersebut bersumber dari
pihak mempelai pria maupun dari mempelai wanita, dan jika barang pemberian
tersebut telah rusak atau berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya.
b.
Madzhab Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan,
maka kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan
atau rusak, maka kedua belah pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas
pemberiannya itu.
c.
Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki
pembatalan tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, dan harus
mengembalikan hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak lain baik barangnya
masih utuh ataupun telah rusak, atau berubah menjadi barang lain. Penyimpangan
dari ketentuan tersebut hanya dibanarkan apabila ada syarat lain antara
keduabelah pihak, atau apabila ‘urf (adat kebiasaan) tempat
piha-pihak bersangkutan mengatakan lain.
G. Akibat
Hukum Pinangan
Pada
prinsipnya apabila peminangan telah di lakukan oleh seorang laki-laki terhadap
seorang wanita, belum berakibat hukum. Kompilasi menegaskan :
1. pinangan
belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan
peminangan.
2. Kebebasan
memutuskan hubungan pinangan di lakukan dengan tata cara yang baik sesuai
dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan
dan saaling menghargai.
Peminangan
itu adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului pernikahan. Namun peminangan
itu bukan suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang
meminang atau pihak yang dipinang dalam masa menjelang pernikahan dapat saja
membatalkan pinangan tersebut, meskipun dulunya ia menerima. Meskipun demikian,
pemutusan peminangan tersebut sebaiknya dilakukan secara baik dan tidak
menyakiti pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara pinangan tersebut
tidak mempunyai kaitan apapun dengan mahar yang diberikan kemudian dalam
pernikahan. Dengan demikian, pemberian tersebut dapat diambil kembali bila
peminangan itu tidak berlanjut dengan pernikahan.
Hubungan
antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang selama masa
antara peminangan dan perkawinan adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan
perempuan asing (ajnabi dan ajnabiyah). Oleh karena itu, belum berlaku
hak dan kewajiban (suami-istri) diantara keduanya.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam
pasal 13 sendiri dibahas tentang akibat hukum suatu peminangan. “hukum”
yang dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara laki-laki
yang meminang dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak
menimbulkan akibat hukum yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat hukum
sebagaimana yang tertulis dalam pasal 12 (peraturan pinangan) ayat 3 yaitu
tidak boleh meminang wanita yang masih dalam pinangan orang lain, selama
pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
Disisis lain, dalam pasal 12 poin 1 yang berbunyi “peminangan dapat
dilakukan terhadap seorang yang masih perawan atau terhadap janda yang telah
habis masa iddahnya.” Dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya namun masih dalam masa iddah, boleh dilamar
namun harus dengan cara kinayah (sindiran) tidak boleh
menggunakan cara yangshorih (jelas). Begitu juga dengan seorang
wanita yang menjalani masa iddah dari talaq ba’in dalam bentuk fasakh atau
talaq tiga boleh dipinang namun dengan cara sindiran.
Begitulah
tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi
langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan,
mungkin karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan yang wajib
dibuat acuan malah dilupakan.
Dengan
demikian cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah awal menuju
perkawinan, namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan
diantaranya sebagai berikut:
1) Punya
rencana kapan penikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara tunangan dan
perkawinan terlalu lama.
2) Sudah
yakin siap mengikatkan diri pada satu orang.
3) Menikah
dengan motivasi yang positif.
4) Kesiapan
kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.
5) Status
pendidikan dan penghasilan pasangan.
DAFTAR
PUSTAKA
Drs.
Ahmad Rofiq, M.A. Hukum islam di indonesia cetakan pertama PT rajawali pers.
Sabiq,
Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan
Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
Undang-undang
perkawinan Indonesia 2007 (Kompilasi Hukum
Islam). Cetakan I, WIPRESS
Azhar
Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII
Press. Yogyakarta
Bagi sebagian orang Islam, pertunangan ini
dianggap sama dengan khitbah, atau lamaran. Khitbah atau lamaran sendiri
artinya adalah permintaan dari pihak lelaki kepada wali pihak wanita untuk
menikahi si wanita tersebut. Memang perbedaan antara tunangan dan lamaran bagi
sementara orang sangat tipis, sebab keduanya adalah sama-sama salah satu tahap
pra nikah. Tetapi kalau dicermati ada perbedaan di antara keduanya yang cukup
signifikan. Berikut ini adalah beberapa fakta perbedaan antara tunangan dan
khitbah.
Pertama; Dalam hukum Islam, lamaran itu
disampaikan kepada wali calon mempelai wanita, khususnya jika ia masih gadis.
Sedangkan dalam tunangan tidak ada aturan agar tunangan itu disampaikan kepada
walinya. Pernyataan tunangan itu bisa disampaikan kepada wali, ibu, kakak
perempuan, atau bahkan calon mempelai itu sendiri.
Kedua, dalam ajaran agama Islam, jika lamaran
itu diterima maka proses pernikahan akan diusahakan bisa dilaksanakan
secepatnya. Soal rentang waktu memang relatif, tergantung kesiapan
masing-masing individu. Tetapi pada umumnya tidak sampai hitungan tahun sudah
kelar. Persoalan yang biasa cukup menghambat adalah persiapan resepsi yang
membutuhkan dana cukup besar. Sedangkan dalam tunangan, pernikahan itu masih
cukup jauh jaraknya, bahkan bisa bertahun-tahun.
Ketiga, orang yang sudah melamar seorang
wanita tetap akan menjaga diri dalam bergaul dengan calon pengantin wanitanya.
Karena keduanya belum terikat pernikahan maka keduanya masih haram untuk
bertemu, berdua-duaan di tempat yang sepi.
Sementara kebiasaan yang terjadi pada
tunangan, orang yang sudah saling bertunangan akan semakin mengeratkan hubungan
mereka. Mereka akan semakin sering bertemu, kirim kabar, atau yang semisalnya.
Kadang-kadang dalam beberapa hal sudah saling menanggung urusan tunangannya,
seperti dalam jual beli dan hutang piiutang. Bahkan hal yang dilarang dalam
masa pasca lamaran bisa dianggap boleh oleh pasangan yang telah bertunangan.
Hingga tak jarang di antara pasangan yang bertunangan ini ada yang telah
melakukan pola kehidupan layaknya suami isteri. Hal ini sudah tidak mengejutkan
lagi dalam kehidupan masyarakat saat ini. Mereka berani melakukan demikian
karena merasa sudah pasti akan dilakukannya ikatan pernikahan.
Keempat, lamaran didasari tekad yang kuat
untuk mengikat tali pernikahan. Untuk menambah kuatnya hasrat untuk menikah ini
disyari’atkan untuk nadhar (melihat) calon mempelai sebelum adanya lamaran.
Dasarnya adalah hadis nabi
????? ?????? ?????????? ??????????? ?????? ?????????? ???? ???????? ????? ??? ????????? ????? ?????????? ????????????
Apabila salah seorang di antara kalian
melamar seorang wanita, jika mampu untuk melihatnya agar mendorongnya untuk
menikahinya maka lakukanlah (HR Abu Dawud)
Adanya syari’at untuk melihat calon pasangan
sebelum melamar ini karena di dalam lamaran kedua belah pihak belum akrab.
Tetapi ini pun bukan sebuah persyaratan yang harus dilalui. Andaikata hanya
dengan melihat foto, atau mendapat cerita dari orang kepercayaannya sudah
cukup, maka dengan cara demikian pun boleh saja. Bahkan tidak melihat dan tidak
mengetahui sama sekali calonnya, karena begitu tinggi tawakkalnya, itupun
boleh.
Sementara pertunangan tidak akan ada ajaran
nadhar, sebab sejak bertahun-tahun lamanya sudah saling melihat, saling menyapa
dan bergaul, bahkan mungkin lebih dari itu. Hingga tunangan bisa dikatakan
hanyalah sekedar meningkatkan intensitas “hubungan percobaan” antara pasangan
laki-laki dan perempuan sebelum menikah atau sekedar hubungan cinta belaka atau
hubungan sesaat. Semuanya hanyalah menjadi bagian “hubungan percobaan” itu,
tanpa ada kesepakatan apapun yang dilanggar.
Antara lamaran dan tunangan memang tipis,
letak perbedaan yang paling mendasar antara keduanya adalah pada landasan
ideologis. Lamaran dilandasi oleh semangat menjalankan syari’at islam,
sementara tunangan hanya dilandasi oleh rasa suka dan cinta belaka. Khitbah
diatur dengan aturan Islam, sementara tunangan diatur dengan aturan adat dan
tradisi belaka. Khitbah terikat dengan moral islam sementara tunangan tidak ada
yang mengikatnya. Khitbah lahir dari peradaban islam, sementara tunangan lahir
dari peradaban Barat.
Sayangnya banyak kaum muslimin saat ini yang
tidak peduli dengan peristilahan yang berkembang di masyarakat. Padahal bermula
dari istilah itulah, kemudian tradisi-tradisi yang lain pun akan mengikuti.
Kita saksikan perbedaan lagi dalam pelaksanaan lamaran yang islami, biasanya
tidak ada perayaan besar-besaran. Kenapa demikian, karena masih disadari bahwa
proses ini bisa berlanjut dan bisa pula batal. Tetapi dalam tunangan
sebaliknya, justru dilakukan pesta besar, karena merupakan perayaan kesuksesan
atas fase pertama, yakni pacaran. Karena dianggap sebagai sebuah kesuksesan,
maka selayaknya diadakan pesta perayaan.
Selain perayaan yang ditandai dengan
makan-makan, kadang-kadang juga terdapat acara ritual yang diimpor dari budaya
Barat seperti tukar cincin dan budaya non Islam lainnya (misalkan memakai
pakaian dalam warna tertentu). Dalam Islam tidak dikenal tradisi tukar cincin,
lalu saling memakai cincin tanda perkawinan. Jangankan memakai cincin
perkawinan, memakai emas saja bagi kaum muslimin dilarang. Rasulullah saw
bersabda
???? ????? ?????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ????? ????? ??????? ????? ??????? ??????? ????????? ???????? ?????????? ??????????? ??????????? ????? ??????????
Dari Abu Musa, bahwa Rasulullah saw bersabda,
Sesungguhnya Allah swt menghalalkan bagi wanita umatku emas dan sutera, tetapi
mengharamkan bagi laki-laki umatku (HR an-Nasa’i)
Memakai cincin emas bagi laki-laki muslim
adalah terlarang. Melakukan tukar cincin juga terlarang, sebab hal tersebut
berarti meniru-niru tradisi non muslim. Rasulullah saw bersabda
???? ????? ?????? ????? ????? ??????? ??????? ??? ???? ???? ???? ???? ????????? ???????? ?????? ????????
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata; Rasulullah saw
bersabda; Barangsiapa meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan
mereka (HR Abu Dawud)
Islam tidak pernah mengajarkan pola hubungan
seperti tunangan itu. Khitbah dalam islam senantiasa diikat dengan nilai dan
moral Islam. Segala bentuk hubungan antara calon lelaki dan calon wanita yang
sudah melakukan khitbah adalah sama dengan hubungan laki-laki dan wanita yang
tidak terikat khitbah. Hal ini haruslah menjadi perhatian kaum muslimin, agar
tidak kehilangan jati diri dan budayanya. Allahu a’lam bish-shawab
Pertunangan adalah
istilah yang digunakan dalam masyarakat yang berarti bahwa seseorang telah
terikat janji dengan orang lain dengan maksud untuk menikah nantinya. Di negara
Barat, “tunangan” atau pertunangan ini dapat berlangsung selama bertahun tahun
tanpa ada kepastian untuk menikah dan lebih jauh lagi tanpa ada kesepakatan apa
pun. Selama tunangan, pasangan tersebut boleh bersenang-senang termasuk
melakukan hubungan seksual. Hal ini sudah tidak mengejutkan lagi dalam
kehidupan masyarakat saat ini.
Sayangnya
banyak kaum muslimin saat ini yang melakukan hal tersebut. Ketika acara
pertunangan, pesta besar pun diadakan, dimana terdapat acara ritual yang ditiru
dari budaya Barat seperti tukar cincin dan budaya non Islam lainnya (misalkan
memakai pakaian dalam warna tertentu).
Dalam
pesta-pesta seperti ini melibatkan percampuran laki-laki dan perempuan serta
aktivitas atau perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Islam. Setelah itu
pasangan tersebut mempunyai hubungan khusus, baik dengan atau tanpa hubungan
badan, sebelum menikah. Apalagi mereka berhubungan melalui surat , pembicaraan
lewat telefon ataupun saling bertemu, dan hal ini diperbolehkan karena mereka
telah bertunangan.
Dalam
Islam hubungan seperti ini tidak ada. Satu-satunya cara agar laki-laki dan
perempuan dapat mempunyai hubungan yang khusus baik secara emosional maupun
fisik adalah melalui pernikahan.
Definisi
“pertunangan“ dalam Islam
adalah kesepakatan pribadi dengan maksud untuk menikah antara laki-laki muslim
yang sesuai atau pantas dengan perempuan muslim melalui walinya, yaitu wali
Amr.Penjelasan hal ini yaitu:
1. Kesepakatan
pribadi maksudnya perjanjian rahasia antara keduanya.
2. Laki-laki
muslim yang pantas maksudnya adalah dia harus seorang muslim, baligh, dan
bijaksana.
3. Perempuan
yang pantas maksudnya adalah dia harus seorang muslim, atau perempuan ahlul
kitab (Yahudi dan Nasrani).
Dalam
memilih pasangan wanita, perlu bagi kita untuk mengingat hadits Rasulullah saw.
Abu Hurairoh menceritakan bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
”wanita
dinikahi karena empat hal yaitu karena kekayaannya, keluarganya, kecantikannya
dan agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya karena jika tidak kamu akan
menjadi orang yang merugi.”
Hadits
ini mengingatkan kita pada semua yang sudah terjebak dalam kehidupan non Islam,
dimana sekedar mencari kesenangan materi dari pasangannya. Akhirnya pertunangan
dalam Islam haruslah tetap terjaga kerahasiaannya dan jika hubungan keduanya
terputus maka keduanya dilarang untuk menceritakan apa yang telah mereka
bicarakan atau yang telah mereka lihat dari keduanya.
Dalam
Islam pertunangan bisa berlanjut pada pernikahan dan juga bisa tidak tergantung
pada keduanya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan berbagai naluri yang
membutuhkan pemenuhan, dan Allah juga memberikan kita solusi untuk memenuhinya.
Diantara naluri-naluri manusia, secara fitroh manusia mencari pasangan hidup
dan untuk itu kita memenuhi naluri tersebut melalui jalan pernikahan saja.
Setiap muslim harus ingat bahwa kita semua adalah hamba Allah swt dan bukan
menjadi budak manusia atau budak nafsu.
Cara
pertunangan dengan gaya Barat yang buruk ini tidak boleh kita terapkan dalam
kehidupan kita, karena bertolak
pada firman Allah SWT :
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia telah menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram
padanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda pada kaum yang berfikir”. (QS.30:
21).
Pada suatu hari, ada kejadian yang
menyebutkan bahwa salah seorang ustadz yang juga tokoh masyarakat di ibu kota,
didatangi oleh seorang pemuda dengan maksud untuk melamar anak perempuannya
yang belum menikah, ustadz tersebut menjawab: “Anak saya sudah ada yang
melamar.”
Apakah jawaban tersebut menunjukkan bahwa
seorang perempuan yang sudah dilamar oleh laki-laki, baik perempuan tersebut
menerima, menolak, atau belum memberikan jawaban atas lamaran tersebut, pasti
tidak boleh bagi laki-laki lain untuk melamarnya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu
diketahui terlebih dahulu bahwa para ulama membagi perempuan yang telah dilamar
seorang laki-laki, menjadi tiga keadaan :
Keadaan Pertama :
Perempuan tersebut sudah dilamar oleh
laki-laki lain dan telah menerima lamarannya, maka tidak dibenarkan laki-laki
lain datang untuk melamarnya, sampai laki-laki yang pertama membatalkan
lamarannya atau mengijinkan orang lain untuk melamarnya, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim,Kairo, Dar al
Bayan, 1407/1987, jilid 3, juz 9 : 197, begitu juga oleh Ibnu Qudamah, di
dalam Al-Mughni, 10/ 567 .
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah ra,
bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
??? ???????? ????????? ????? ???????? ??????? ????? ??????? ????? ?????? ???????
“Janganlah
meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang
yang telah ditawar saudaranya.” (HR
Muslim, no : 2519 )
Di dalam riwayat Ibnu Umar ra, bahwasanya ia
berkata :
????? ?????????? ?????? ??????? ???????? ????????? ???? ??????? ?????????? ????? ?????? ?????? ????? ???????? ????????? ????? ???????? ??????? ?????? ???????? ?????????? ???????? ???? ???????? ???? ??????????
“ Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian
kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang
meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya
meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” ( HR Bukhari, no : 4746 )
Hanya saja, para ulama berbeda di dalam
menafsirkan larangan dalam hadits di atas, sebagian dari mereka mengatakan
bahwa larangan tersebut menunjukkan keharaman, sedang sebagian yang lain
berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan makruh bukan haram.
Bahkan Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah mengatakan: “Maksud dari larangan
hadits di atas, yaitu jika orang yang shalih melamar seorang perempuan, maka
tidak boleh laki-laki shalih yang lain melamarnya juga. Adapun jika pelamar
yang pertama bukan laki-laki yang shalih (orang fasik), maka dibolehkan bagi
laki-laki shalih untuk melamar perempuan tersebut.” (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid,
Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke – 10 , juz : 2 /3 )
Apa hikmah di balik pelarangan tersebut? Hikmahnya
adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena lamarannya yang sudah
menerimanya kok tiba-tiba membatalkannya hanya karena datang laki-laki lain,
dan ini akan berpotensi terjadinya permusuhan, kebencian, dan dendam antara
satu dengan yang lain.
Bagaimana hukumnya jika laki-laki kedua
bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini
:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah
bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi status pernikahan antara
keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus
dibatalkan. Ini adalah pendapat Dawud dari madzhab Zhahiriyah.
Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan
hubungan seksual , maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan
hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut
Imam Malik.
Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua
riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan tidak
batal. . ( Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid,
juz : 2 /3 )
Keadaan Kedua :
Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki
lain, tetapi perempuan tersebut menolak lamaran itu atau belum memberikan
jawaban. Di dalam mazhab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini,
yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. ( Al
Khatib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994,
Cet ke – 1, Juz : 4/ 222 )
Dalilnya adalah hadist Fatimah binti
Qais yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian
beliau datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengadu :
??????? ???????? ???????? ???????? ???? ????? ??????????? ???? ????? ????????? ??????? ?????? ?????????? ??????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ??????? ???? ????????? ???????? ??????????? ??????????? ??? ????? ???? ???????? ????????? ???? ?????? ???????????? ????? ????? ???????? ????????? ???????????? ???????? ??????? ????? ??????? ?????????????
Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “ Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu
kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm
telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun Abu Jahm adalah orang
yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul ),
sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu
nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap
bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah
telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku meras bahagia hidup
dengannya. (
HR Muslim, no : 2709 )
Berkata Imam Syafi’i menerangkan hadits di
atas :
??? ?????????? ????????? ??????? ??????? ??? ??????? ???? ???? ????? ????? ?????? ????????????? ?????????? ????? ??????? ??? ????? ??????? ???????? ????? ???????? ??????????? ?????? ???????? ???????? ??? ??????????? ????? ???????? ????????? ??? ?????????? ???? ???????? ?? ??????? ????????? ??????????? ??? ????? ??? ?????? ????????????? ?? ???????? ???? ??? ???? ?? ??????????? ??? ?????????? ??? ??????????? ????? ????? ?????? ?????? ??????? ????????????? ????? ??????????? ????????? ?????? ???????? ???? ???????? ?????????????? ?? ???????? ?????? ?????????? ?? ?????? ??????????? ?? ?????? ????????
“Fathimah telah memberitahukan Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarnya, dan
saya tidak ragu-ragu, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa lamaran
salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak
melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fathimah
telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam melamar Fathimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah
melamarnya dalam keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang wanita yang
sudah dilamar orang lain). Saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam melarang perbuatan Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan
kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar terlebih
dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar tersebut telah
menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti, orang lain tidak boleh
melamarnya lagi “ ( Al Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah,
1993, cet – 1 : Juz 5/ 64 )
Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang
menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga
orang : Jarir bin Abdullah, Marwan bin Al Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal
Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini
menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia
belum memberikan jawabannya. (Ibnu
Qudamah, al Mughni : 9/ 568 )
Keadaan Ketiga :
Perempuan yang dilamar tersebut belum
memberikan jawaban secara jelas, hanya saja ada tanda-tanda bahwa dia menerima
lamaran tersebut. Maka hukum melamar perempuan yang sudah dilamar dalam keadaan
seperti ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya :
Pendapat Pertama: Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan
tersebut sudah menerima lamaran tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah
pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadits
Ibnu Umar yang menyebutkan larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.
Pendapat Kedua: Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam
Ahmad dalam riwayat dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid (pendapat yang terbaru). Menurut
kelompok ini bahwa di dalam hadits Fathimah binti Qais menunjukkan bahwa dia
(Fathimah ) sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu
dari dua laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah
shalallahu alaihi wasallam tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini
menunjukkan kebolehan.
Selain itu, di dalam hadits tersebut tidak
disebutkan bahwa nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bertanya terlebih
dahulu sebelum melamarkan untuk Usamah, apakah Fathimah sudah cenderung kepada
salah satunya atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa kebolehan melamar seorang
perempuan secara umum selama belum memberikan jawaban pada lamaran sebelumnya.
Pendapat yang lebih benar dari dua pendapat
di atas adalah pendapat pertama yang menyatakan haram hukumnya melamar
perempuan yang sudah kelihatan kecenderungannya kepada laki-laki yang
melamarnya, walaupun belum diungkapkan dalam kata-kata, karena kecenderungan
sudah bisa dianggap sebagai persetujuan. Wallahu a’lam.
????? ??????? ?????????? ??????
?????????? ???? ???? ???????? ?????????? ???? ???????????? ??? ???????????
?????? ????? ????????? ?????????????????? ??????? ???? ??????????????? ??????
?????? ??? ????????? ??????? ??????????? ????? ?????????? ???????? ??????????
?????? ???????? ?????????? ???????? ??????????? ????? ????? ???????? ??? ???
??????????? ???????????? ??????????? ????? ????? ??????? ???????? {235}
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu
ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al-Baqarah: 235).
Ini merupakan hukum bagi wanita-wanita yang dalam iddah,
baik karena kematian suami atau perceraian talak ketiga dalam kehidupan, yaitu
diharamkan bagi selain suami yang telah mentalak tiga untuk menyatakan secara
jelas keinginannya untuk meminangnya, itulah yang dimaksudkan dalam ayat, [ ?????? ???? ??????????????? ??????] “dalam
pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia”.
Adapun sindiran Allah
Ta’ala telah meniadakan dosa padanya. Perbedaan antara kedua hal itu adalah
bahwa pengakuan yang jelas tidaklah mengandung makna kecuali pernikahan, oleh
karena itu diharamkan, karena dikhawatirkan wanita itu mempercepat dan membuat
kebohongan tentang selesainya masa iddahnya karena dorongan keinginan menikah.
Disini terdapat indikasi tentang dilarangnya sarana-sarana (yang mengantarkan)
kepada hal yang diharamkan, dan menunaikan hak untuk suami pertama adalah
dengan tidak mengadakan perjanjian dengan selain dirinya selama masa iddahnya.
Adapun sindiran memiliki kemungkinan bermakna pernikahan
dan selainnya. Maka ini boleh dilakukan terhadap wanita yang ditalak tiga
tersebut seperti dia berkata kepada wanita itu, “Sesungguhnya saya ini
berkeinginan menikah dan saya sangat senang sekali kalau kamu memberi
pendapatmu untukku ketika iddahmu telah selesai” atau semacamnya. Hal ini boleh
karena tidak seperti pernyataan secara tegas yang dalam dirinya ada dorongan
yang kuat dalam hal tersebut. Demikian juga seseorang boleh menyembunyikan
dalam dirinya keinginan menikah dengan seorang wanita yang masih dalam masa
iddahnya apabila telah selesai iddahnya. Karena itu Allah berfirman, { ???? ???????????? ??? ??????????? ??????
????? ????????? ?????????????????? } “Atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka”. Perincian ini semuanya adalah mengenai hukum-hukum
sebelum akad nikah, sedangkan akad nikah maka tidak boleh dilakukan, { ?????? ???????? ?????????? ???????? } “sampai habis iddahnya”, artinya,
sempurna masa iddahnya.
{ ??????????? ????? ????? ???????? ??? ??? ??????????? } “Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu”,
maksudnya, dan berniatlah kalian yang baik dan janganlah kalian berniat yang
jelek karena takut akan hukumanNya dan mengharap pahalaNya, [??????????? ????? ????? ??????? ] “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun” bagi
orang-orang yang melakukan dosa-dosa lalu dia bertaubat darinya dan kembali
kepada Rabbnya, {
??????? } “Lagi
Maha Penyantun”, di mana Allah tidak mempercepat hukuman atas
kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat, padahal Allah mampu melakukannya.
Pelajaran dari Ayat:
·
Haramnya mengkhitbah (melamar) seorang wanita
yang masih dalam masa iddah (masa iddahnya belum selesai), secara
terang-terangan dengan lafadz (ucapan yang jelas)
·
Bolehnya menawarkan diri kepada wanita
tersebut dengan sindiran (isyarat) atau ucapan-ucapan yang tidak
terang-terangan (seperti ucapan: ‘sesungguhnya saya ingin sekali menikah’, atau
‘jika masa iddahmu telah selesai bermusyawarahlah denganku jika engkau ingin
menikah’, atau ‘saya sangat senang dengan wanita sepertimu’, atau ucapan-ucapan
yang semisal).
·
Haramnya melakukan aqad nikah terhadap wanita
yang sedang menjalani masa iddah, dan hal ini tentunya lebih utama keharamannya
selama khitbah (melamar) diharamkan. Dan barangsiapa yang melakukan aqad nikah
dengan wanita yang belum habis masa iddahnya maka keduanya di fash (dipisahkan)
dan tidak dia halal lagi baginya setelah hukuman tersebut selamanya.
·
Wajibnya muraqabatullah (merasa adanya
pengawasan Allah Ta’ala) dalam keadaan sendirian atau dihadapan khalayak ramai,
dan membentengi diri dari peyebab-penyebab terjerumusnya kepada perbuatan
haram.
Bersambung insya Allah…
Di kumpulkan oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim
ADAB-ADAB MELAMAR PINANGAN
Pelamaran
adalah semua perbuatan yang dilakukan yang bertujuan untuk melangsungkan pernikahan.
Karenanya, sebelum terjun membicarakan tentang adab-adab melamar, maka ada
baiknya jika kita menyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang
menunjukkan keutamaan pernikahan yang sekaligus menunjukkan keutamaan melamar,
karena tidak mungkin ada pernikahan kecuali didahului oleh proses pelamaran.
Ada beberapa
dalil dari Al-Qur`an yang menunjukkan keutamaan pernikahan, di antaranya:
·
Surah Ar-Rum ayat 21.
?????? ???????? ???? ?????? ????? ????? ??????????? ?????????? ????????????? ????????? ???????? ????????? ?????????? ?????????? ????? ??? ?????? ???????? ????????? ??????????????
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS.
Ar-Rum: 21)
Surah Ar-Ra’d
ayat 38.
???????? ??????????? ??????? ???? ???????? ??????????? ?????? ?????????? ???????????? ????? ????? ????????? ??? ???????? ??????? ?????? ???????? ?????? ??????? ?????? ???????
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah.
Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar-Ra’d: 38)
·
Surah Ali ‘Imran ayat 38.
????????? ????? ?????????? ??????? ????? ????? ???? ??? ??? ????????? ?????????? ????????? ??????? ??????? ?????????
“Di
sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah
aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar
do`a”. (QS. Ali-‘Imran: 38)
·
Surah Al-Furqan ayat 54.
?????? ??????? ?????? ???? ??????? ??????? ?????????? ??????? ????????? ??????? ??????? ????????
“Dan Dia
(pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya)
keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”. (QS. Al-Furqan:
54)
Adapun sabda
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka telah datang dari beberapa
orang sahabat, di antaranya:
1. Hadits Anas
bin Malik -radhiallahu ‘anhu-.
Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada tiga orang sahabat yang mau
memfokuskan untuk beribadah dan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan, di
antaranya adalah pernikahan:
“Barangsiapa
yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
2. Hadits
‘Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
“Wahai
sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan
maka hendaknya dia menikah, karena hal tersebut lebih menundukkan pandangan dan
lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia
berpuasa karena puasa adalah benteng baginya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Beberapa perkara penting sebelum pelamaran
Sebelum
melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya memperhatikan beberapa perkara
berikut sebelum menentukan wanita mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain
berguna untuk melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah
terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak.
Berikut
penyebutan perkara-perkara tersebut:
1. Tidak boleh melamar wanita yang telah lebih dahulu dilamar oleh
saudaranya sesama muslim.
Hal ini
berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Tidak
boleh seorang lelaki melamar di atas lamaran saudaranya”1.
Dalam sebuah
riwayat:
“Kecuali
jika pelamar pertama meninggalkan lamarannya atau dia (pelamar pertama)
mengizinkan dirinya”2.
Batasan dari
larangan ini adalah kapan diketahui bahwa pelamar pertama telah meridhoi (baca:
setuju dengan) wanita tersebut dan demikian pula sebaliknya maka tidak boleh
bagi orang lain untuk melamar wanita tersebut. Jika tidak diketahui hal itu
atau bahkan diketahui bahwa salah satu pihak tidak meridhoi pihak lainnya maka
boleh ketika itu orang lain untuk melamar wanita tersebut. Hal ini sebagaimana
yang terjadi pada sahabiyah Fathimah bintu Qois, tatkala dia sudah lepas dari
‘iddah thalaqnya, maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm bersamaan
melamarnya3.
Catatan: Sebagian ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar
jika pelamar pertama adalah orang fasik atau ahli bid’ah, wallahu
A’lam.
2. Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita memperhatikan
hal-hal berikut:
(a). Kesholehan. Hal ini
berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda:
“Wanita
dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.
Karenanya,
hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya
dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak. Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita
yang paling baik:
“Wanita
yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya
dan harta suaminya”4.
Bahkan Allah -Ta’ala- berfirman:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS.
An-Nisa`: 34)
Qonitat, Sufyan Ats-Tsaury -rahimahullah- berkata, “Yakni
wanita-wanita yang mentaati Allah dan mentaati suami-suami mereka”5.
Dan Imam
Qotadah bin Di’amah berkata menafsirkan “hafizhotun
…”,
“Wanita-wanita
yang menjaga hak-hak Allah yang Allah bebankan atas mereka serta wanita-wanita
yang menjaga (dirinya) ketika suaminya tidak ada di sisinya”6.
Karenanya pula
dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika
pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam
pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan
sebaliknya. Imam Al-Hasan Al-Bashry -rahimahullah- berkata:
“Tidak
halal bagi seorang muslim (untuk menikahi) al-musafahah7 dan dzati khadanin
8?9.
‘Abdullah bin
‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
“Sesungguhnya
Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita
pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama
‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah
– Ta’ala-, ["Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali
pezina laki-laki atau musyrik laki-laki"10]. Maka Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau
bersabda, ["Jangan
kamu nikahi dia"]11.
Demikian pula
dibenci menikahi orang yang fasik atau ahli bid’ah, berdasarkan keumuman sabda
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas.
(b). Subur lagi penyayang, karenanya dibenci menikah dengan lelaki atau
wanita yang mandul. Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Pernah
datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu
berkata,”Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi
cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”,
beliau menjawab, ["tidak boleh"]. Kemudian orang ini datang untuk
kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau
melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda:
["Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya
saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat"]12.
An-Nasa`iy
-rahimahullah- memberikan judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya, “Bab:
Makruhnya menikahi orang yang mandul”.
(c). Hendaknya memilih wanita yang masih perawan. Hal ini berdasarkan Jabir bin ‘Abdillah
-radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya
kepadanya, “Wanita apa yang kamu nikahi?”,
maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
“Tidakkah
kamu menikahi wanita yang perawan?! yang kamu bisa bermain dengannya dan dia
bisa bermain denganmu?!”13.
d. ???
3. Hendaknya wali dari seorang wanita menikahkan walinya dengan lelaki
yang sebaya dengannya, maka janganlah dia menikahkan wanita yang masih muda
dengan lelaki yang sudah berumur. Dari Buraidah ibnul Hushoib -radhiallahu ‘anhu- beliau
berkata, “Abu Bakr dan ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- pernah melamar Fathimah
(anak Nabi), maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Sesungguhnya
dia masih muda”.
Kemudian
Fathimah dilamar oleh ‘Ali maka beliau (Nabi) menikahkannya”14.
4. Boleh bagi seorang lelaki untuk menawarkan putrinya atau saudarinya
atau wanita yang ada di bawah perwaliannya kepada seorang lelaki yang sholih.
Akan datang
keterangannya di awal bab setelah ini.
5. Hendaknya wali seorang wanita menikahkan wanita yang dia wakili
dengan lelaki yang baik dan tampan, dan dia tidak menikahkannya dengan orang
yang jelek kecuali dengan seizin wanita tersebut. Imam Ibnul Jauzy -rahimahullah- berkata,
“Disunnahkan
bagi orang yang akan menikahkan putrinya untuk mencari pemuda yang indah
rupanya, karena wanita juga menyenangi apa yang disenangi oleh lelaki (berupa
keindahan wajahpent.)” 15.
Demikian pula
dia jangan menikahkan putrinya kepada orang yang diduga kuat tidak akan
memenuhi kewajibannya berupa memberi nafkah kepada keluarganya. Sebagaimana
ketidaksetujuan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala Fathimah bintu Qois
dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
“Adapun
Mu’awiyah, maka dia adalah lelaki yang sangat miskin lagi tidak mempunyai harta
sama sekali”.
Demikian halnya
jika yang melamar anaknya adalah seorang yang dianggap tidak baik pergaulannya
dalam berkeluarga, sebagaimana komentar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
terhadap Abu Jahm yang juga melamar Fathimah bintu Qois:
“Adapun
Abu Jahm, maka dia adalah orang yang sering memukuli istrinya”16.
Pada suatu hari, ada kejadian yang
menyebutkan bahwa salah seorang ustadz yang juga tokoh masyarakat di ibu kota,
didatangi oleh seorang pemuda dengan maksud untuk melamar anak perempuannya
yang belum menikah, ustadz tersebut menjawab: “Anak saya sudah ada yang
melamar.”
Apakah jawaban tersebut menunjukkan bahwa
seorang perempuan yang sudah dilamar oleh laki-laki, baik perempuan tersebut
menerima, menolak, atau belum memberikan jawaban atas lamaran tersebut, pasti
tidak boleh bagi laki-laki lain untuk melamarnya?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu
diketahui terlebih dahulu bahwa para ulama membagi perempuan yang telah dilamar
seorang laki-laki, menjadi tiga keadaan :
Keadaan Pertama :
Perempuan tersebut sudah dilamar oleh
laki-laki lain dan telah menerima lamarannya, maka tidak dibenarkan laki-laki
lain datang untuk melamarnya, sampai laki-laki yang pertama membatalkan
lamarannya atau mengijinkan orang lain untuk melamarnya, sebagaimana yang
dinyatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim,Kairo, Dar al
Bayan, 1407/1987, jilid 3, juz 9 : 197, begitu juga oleh Ibnu Qudamah, di
dalam Al-Mughni, 10/ 567 .
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah ra,
bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
??? ???????? ????????? ????? ???????? ??????? ????? ??????? ????? ?????? ???????
“Janganlah
meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang
yang telah ditawar saudaranya.” (HR
Muslim, no : 2519 )
Di dalam riwayat Ibnu Umar ra, bahwasanya ia
berkata :
????? ?????????? ?????? ??????? ???????? ????????? ???? ??????? ?????????? ????? ?????? ?????? ????? ???????? ????????? ????? ???????? ??????? ?????? ???????? ?????????? ???????? ???? ???????? ???? ??????????
“ Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian
kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang
meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya
meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” ( HR Bukhari, no : 4746 )
Hanya saja, para ulama berbeda di dalam
menafsirkan larangan dalam hadits di atas, sebagian dari mereka mengatakan
bahwa larangan tersebut menunjukkan keharaman, sedang sebagian yang lain
berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan makruh bukan haram.
Bahkan Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah mengatakan: “Maksud dari larangan
hadits di atas, yaitu jika orang yang shalih melamar seorang perempuan, maka
tidak boleh laki-laki shalih yang lain melamarnya juga. Adapun jika pelamar
yang pertama bukan laki-laki yang shalih (orang fasik), maka dibolehkan bagi
laki-laki shalih untuk melamar perempuan tersebut.” (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid,
Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke – 10 , juz : 2 /3 )
Apa hikmah di balik pelarangan tersebut? Hikmahnya
adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena lamarannya yang sudah
menerimanya kok tiba-tiba membatalkannya hanya karena datang laki-laki lain,
dan ini akan berpotensi terjadinya permusuhan, kebencian, dan dendam antara
satu dengan yang lain.
Bagaimana hukumnya jika laki-laki kedua
bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini
:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah
bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi status pernikahan antara
keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus
dibatalkan. Ini adalah pendapat Dawud dari madzhab Zhahiriyah.
Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan
hubungan seksual , maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan
hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut
Imam Malik.
Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua
riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan tidak
batal. . ( Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid,
juz : 2 /3 )
Keadaan Kedua :
Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki
lain, tetapi perempuan tersebut menolak lamaran itu atau belum memberikan
jawaban. Di dalam mazhab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini,
yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. ( Al
Khatib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994,
Cet ke – 1, Juz : 4/ 222 )
Dalilnya adalah hadist Fatimah binti
Qais yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian
beliau datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengadu :
??????? ???????? ???????? ???????? ???? ????? ??????????? ???? ????? ????????? ??????? ?????? ?????????? ??????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ??????? ???? ????????? ???????? ??????????? ??????????? ??? ????? ???? ???????? ????????? ???? ?????? ???????????? ????? ????? ???????? ????????? ???????????? ???????? ??????? ????? ??????? ?????????????
Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “ Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu
kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm
telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun Abu Jahm adalah orang
yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul ),
sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu
nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap
bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah
telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku meras bahagia hidup
dengannya. (
HR Muslim, no : 2709 )
Berkata Imam Syafi’i menerangkan hadits di
atas :
??? ?????????? ????????? ??????? ??????? ??? ??????? ???? ???? ????? ????? ?????? ????????????? ?????????? ????? ??????? ??? ????? ??????? ???????? ????? ???????? ??????????? ?????? ???????? ???????? ??? ??????????? ????? ???????? ????????? ??? ?????????? ???? ???????? ?? ??????? ????????? ??????????? ??? ????? ??? ?????? ????????????? ?? ???????? ???? ??? ???? ?? ??????????? ??? ?????????? ??? ??????????? ????? ????? ?????? ?????? ??????? ????????????? ????? ??????????? ????????? ?????? ???????? ???? ???????? ?????????????? ?? ???????? ?????? ?????????? ?? ?????? ??????????? ?? ?????? ????????
“Fathimah telah memberitahukan Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarnya, dan
saya tidak ragu-ragu, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa lamaran
salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak
melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fathimah
telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam melamar Fathimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah
melamarnya dalam keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang wanita yang
sudah dilamar orang lain). Saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah
shalallahu alaihi wasallam melarang perbuatan Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan
kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar terlebih
dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar tersebut telah
menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti, orang lain tidak boleh
melamarnya lagi “ ( Al Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah,
1993, cet – 1 : Juz 5/ 64 )
Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang
menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga
orang : Jarir bin Abdullah, Marwan bin Al Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal
Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini
menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia
belum memberikan jawabannya. (Ibnu
Qudamah, al Mughni : 9/ 568 )
Keadaan Ketiga :
Perempuan yang dilamar tersebut belum
memberikan jawaban secara jelas, hanya saja ada tanda-tanda bahwa dia menerima
lamaran tersebut. Maka hukum melamar perempuan yang sudah dilamar dalam keadaan
seperti ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya :
Pendapat Pertama: Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan
tersebut sudah menerima lamaran tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah
pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadits
Ibnu Umar yang menyebutkan larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.
Pendapat Kedua: Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam
Ahmad dalam riwayat dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid (pendapat yang terbaru). Menurut
kelompok ini bahwa di dalam hadits Fathimah binti Qais menunjukkan bahwa dia
(Fathimah ) sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu
dari dua laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah
shalallahu alaihi wasallam tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini
menunjukkan kebolehan.
Selain itu, di dalam hadits tersebut tidak
disebutkan bahwa nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bertanya terlebih
dahulu sebelum melamarkan untuk Usamah, apakah Fathimah sudah cenderung kepada
salah satunya atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa kebolehan melamar seorang
perempuan secara umum selama belum memberikan jawaban pada lamaran sebelumnya.
Pendapat yang lebih benar dari dua pendapat
di atas adalah pendapat pertama yang menyatakan haram hukumnya melamar
perempuan yang sudah kelihatan kecenderungannya kepada laki-laki yang
melamarnya, walaupun belum diungkapkan dalam kata-kata, karena kecenderungan
sudah bisa dianggap sebagai persetujuan. Wallahu a’lam.
????? ??????? ?????????? ??????
?????????? ???? ???? ???????? ?????????? ???? ???????????? ??? ???????????
?????? ????? ????????? ?????????????????? ??????? ???? ??????????????? ??????
?????? ??? ????????? ??????? ??????????? ????? ?????????? ???????? ??????????
?????? ???????? ?????????? ???????? ??????????? ????? ????? ???????? ??? ???
??????????? ???????????? ??????????? ????? ????? ??????? ???????? {235}
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu
ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah
kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al-Baqarah: 235).
Ini merupakan hukum bagi wanita-wanita yang dalam iddah,
baik karena kematian suami atau perceraian talak ketiga dalam kehidupan, yaitu
diharamkan bagi selain suami yang telah mentalak tiga untuk menyatakan secara
jelas keinginannya untuk meminangnya, itulah yang dimaksudkan dalam ayat, [ ?????? ???? ??????????????? ??????] “dalam
pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia”.
Adapun sindiran Allah
Ta’ala telah meniadakan dosa padanya. Perbedaan antara kedua hal itu adalah
bahwa pengakuan yang jelas tidaklah mengandung makna kecuali pernikahan, oleh
karena itu diharamkan, karena dikhawatirkan wanita itu mempercepat dan membuat
kebohongan tentang selesainya masa iddahnya karena dorongan keinginan menikah.
Disini terdapat indikasi tentang dilarangnya sarana-sarana (yang mengantarkan)
kepada hal yang diharamkan, dan menunaikan hak untuk suami pertama adalah
dengan tidak mengadakan perjanjian dengan selain dirinya selama masa iddahnya.
Adapun sindiran memiliki kemungkinan bermakna pernikahan
dan selainnya. Maka ini boleh dilakukan terhadap wanita yang ditalak tiga
tersebut seperti dia berkata kepada wanita itu, “Sesungguhnya saya ini
berkeinginan menikah dan saya sangat senang sekali kalau kamu memberi
pendapatmu untukku ketika iddahmu telah selesai” atau semacamnya. Hal ini boleh
karena tidak seperti pernyataan secara tegas yang dalam dirinya ada dorongan
yang kuat dalam hal tersebut. Demikian juga seseorang boleh menyembunyikan
dalam dirinya keinginan menikah dengan seorang wanita yang masih dalam masa
iddahnya apabila telah selesai iddahnya. Karena itu Allah berfirman, { ???? ???????????? ??? ??????????? ??????
????? ????????? ?????????????????? } “Atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka”. Perincian ini semuanya adalah mengenai hukum-hukum
sebelum akad nikah, sedangkan akad nikah maka tidak boleh dilakukan, { ?????? ???????? ?????????? ???????? } “sampai habis iddahnya”, artinya,
sempurna masa iddahnya.
{ ??????????? ????? ????? ???????? ??? ??? ??????????? } “Dan
ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu”,
maksudnya, dan berniatlah kalian yang baik dan janganlah kalian berniat yang
jelek karena takut akan hukumanNya dan mengharap pahalaNya, [??????????? ????? ????? ??????? ] “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun” bagi
orang-orang yang melakukan dosa-dosa lalu dia bertaubat darinya dan kembali
kepada Rabbnya, {
??????? } “Lagi
Maha Penyantun”, di mana Allah tidak mempercepat hukuman atas
kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat, padahal Allah mampu melakukannya.
Pelajaran dari Ayat:
·
Haramnya mengkhitbah (melamar) seorang wanita
yang masih dalam masa iddah (masa iddahnya belum selesai), secara
terang-terangan dengan lafadz (ucapan yang jelas)
·
Bolehnya menawarkan diri kepada wanita
tersebut dengan sindiran (isyarat) atau ucapan-ucapan yang tidak
terang-terangan (seperti ucapan: ‘sesungguhnya saya ingin sekali menikah’, atau
‘jika masa iddahmu telah selesai bermusyawarahlah denganku jika engkau ingin
menikah’, atau ‘saya sangat senang dengan wanita sepertimu’, atau ucapan-ucapan
yang semisal).
·
Haramnya melakukan aqad nikah terhadap wanita
yang sedang menjalani masa iddah, dan hal ini tentunya lebih utama keharamannya
selama khitbah (melamar) diharamkan. Dan barangsiapa yang melakukan aqad nikah
dengan wanita yang belum habis masa iddahnya maka keduanya di fash (dipisahkan)
dan tidak dia halal lagi baginya setelah hukuman tersebut selamanya.
·
Wajibnya muraqabatullah (merasa adanya
pengawasan Allah Ta’ala) dalam keadaan sendirian atau dihadapan khalayak ramai,
dan membentengi diri dari peyebab-penyebab terjerumusnya kepada perbuatan
haram.
Bersambung insya Allah…
Di kumpulkan oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim
ADAB-ADAB MELAMAR PINANGAN
Pelamaran
adalah semua perbuatan yang dilakukan yang bertujuan untuk melangsungkan pernikahan.
Karenanya, sebelum terjun membicarakan tentang adab-adab melamar, maka ada
baiknya jika kita menyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang
menunjukkan keutamaan pernikahan yang sekaligus menunjukkan keutamaan melamar,
karena tidak mungkin ada pernikahan kecuali didahului oleh proses pelamaran.
Ada beberapa
dalil dari Al-Qur`an yang menunjukkan keutamaan pernikahan, di antaranya:
·
Surah Ar-Rum ayat 21.
?????? ???????? ???? ?????? ????? ????? ??????????? ?????????? ????????????? ????????? ???????? ????????? ?????????? ?????????? ????? ??? ?????? ???????? ????????? ??????????????
“Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS.
Ar-Rum: 21)
Surah Ar-Ra’d
ayat 38.
???????? ??????????? ??????? ???? ???????? ??????????? ?????? ?????????? ???????????? ????? ????? ????????? ??? ???????? ??????? ?????? ???????? ?????? ??????? ?????? ???????
“Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami
memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi
seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah.
Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar-Ra’d: 38)
·
Surah Ali ‘Imran ayat 38.
????????? ????? ?????????? ??????? ????? ????? ???? ??? ??? ????????? ?????????? ????????? ??????? ??????? ?????????
“Di
sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah
aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar
do`a”. (QS. Ali-‘Imran: 38)
·
Surah Al-Furqan ayat 54.
?????? ??????? ?????? ???? ??????? ??????? ?????????? ??????? ????????? ??????? ??????? ????????
“Dan Dia
(pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya)
keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”. (QS. Al-Furqan:
54)
Adapun sabda
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka telah datang dari beberapa
orang sahabat, di antaranya:
1. Hadits Anas
bin Malik -radhiallahu ‘anhu-.
Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada tiga orang sahabat yang mau
memfokuskan untuk beribadah dan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan, di
antaranya adalah pernikahan:
“Barangsiapa
yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
2. Hadits
‘Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
“Wahai
sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan
maka hendaknya dia menikah, karena hal tersebut lebih menundukkan pandangan dan
lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia
berpuasa karena puasa adalah benteng baginya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Beberapa perkara penting sebelum pelamaran
Sebelum
melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya memperhatikan beberapa perkara
berikut sebelum menentukan wanita mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain
berguna untuk melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah
terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak.
Berikut
penyebutan perkara-perkara tersebut:
1. Tidak boleh melamar wanita yang telah lebih dahulu dilamar oleh
saudaranya sesama muslim.
Hal ini
berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Tidak
boleh seorang lelaki melamar di atas lamaran saudaranya”1.
Dalam sebuah
riwayat:
“Kecuali
jika pelamar pertama meninggalkan lamarannya atau dia (pelamar pertama)
mengizinkan dirinya”2.
Batasan dari
larangan ini adalah kapan diketahui bahwa pelamar pertama telah meridhoi (baca:
setuju dengan) wanita tersebut dan demikian pula sebaliknya maka tidak boleh
bagi orang lain untuk melamar wanita tersebut. Jika tidak diketahui hal itu
atau bahkan diketahui bahwa salah satu pihak tidak meridhoi pihak lainnya maka
boleh ketika itu orang lain untuk melamar wanita tersebut. Hal ini sebagaimana
yang terjadi pada sahabiyah Fathimah bintu Qois, tatkala dia sudah lepas dari
‘iddah thalaqnya, maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm bersamaan
melamarnya3.
Catatan: Sebagian ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar
jika pelamar pertama adalah orang fasik atau ahli bid’ah, wallahu
A’lam.
2. Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita memperhatikan
hal-hal berikut:
(a). Kesholehan. Hal ini
berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- bersabda:
“Wanita
dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena
kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.
Karenanya,
hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya
dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak. Rasulullah
-Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita
yang paling baik:
“Wanita
yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya
dan harta suaminya”4.
Bahkan Allah -Ta’ala- berfirman:
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS.
An-Nisa`: 34)
Qonitat, Sufyan Ats-Tsaury -rahimahullah- berkata, “Yakni
wanita-wanita yang mentaati Allah dan mentaati suami-suami mereka”5.
Dan Imam
Qotadah bin Di’amah berkata menafsirkan “hafizhotun
…”,
“Wanita-wanita
yang menjaga hak-hak Allah yang Allah bebankan atas mereka serta wanita-wanita
yang menjaga (dirinya) ketika suaminya tidak ada di sisinya”6.
Karenanya pula
dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika
pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam
pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan
sebaliknya. Imam Al-Hasan Al-Bashry -rahimahullah- berkata:
“Tidak
halal bagi seorang muslim (untuk menikahi) al-musafahah7 dan dzati khadanin
8?9.
‘Abdullah bin
‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
“Sesungguhnya
Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita
pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama
‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah
– Ta’ala-, ["Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali
pezina laki-laki atau musyrik laki-laki"10]. Maka Nabi -Shallallahu
‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau
bersabda, ["Jangan
kamu nikahi dia"]11.
Demikian pula
dibenci menikahi orang yang fasik atau ahli bid’ah, berdasarkan keumuman sabda
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas.
(b). Subur lagi penyayang, karenanya dibenci menikah dengan lelaki atau
wanita yang mandul. Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Pernah
datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu
berkata,”Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi
cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”,
beliau menjawab, ["tidak boleh"]. Kemudian orang ini datang untuk
kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau
melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda:
["Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya
saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat"]12.
An-Nasa`iy
-rahimahullah- memberikan judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya, “Bab:
Makruhnya menikahi orang yang mandul”.
(c). Hendaknya memilih wanita yang masih perawan. Hal ini berdasarkan Jabir bin ‘Abdillah
-radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya
kepadanya, “Wanita apa yang kamu nikahi?”,
maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi
wasallam- bersabda:
“Tidakkah
kamu menikahi wanita yang perawan?! yang kamu bisa bermain dengannya dan dia
bisa bermain denganmu?!”13.
d. ???
3. Hendaknya wali dari seorang wanita menikahkan walinya dengan lelaki
yang sebaya dengannya, maka janganlah dia menikahkan wanita yang masih muda
dengan lelaki yang sudah berumur. Dari Buraidah ibnul Hushoib -radhiallahu ‘anhu- beliau
berkata, “Abu Bakr dan ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- pernah melamar Fathimah
(anak Nabi), maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Sesungguhnya
dia masih muda”.
Kemudian
Fathimah dilamar oleh ‘Ali maka beliau (Nabi) menikahkannya”14.
4. Boleh bagi seorang lelaki untuk menawarkan putrinya atau saudarinya
atau wanita yang ada di bawah perwaliannya kepada seorang lelaki yang sholih.
Akan datang
keterangannya di awal bab setelah ini.
5. Hendaknya wali seorang wanita menikahkan wanita yang dia wakili
dengan lelaki yang baik dan tampan, dan dia tidak menikahkannya dengan orang
yang jelek kecuali dengan seizin wanita tersebut. Imam Ibnul Jauzy -rahimahullah- berkata,
“Disunnahkan
bagi orang yang akan menikahkan putrinya untuk mencari pemuda yang indah
rupanya, karena wanita juga menyenangi apa yang disenangi oleh lelaki (berupa
keindahan wajahpent.)” 15.
Demikian pula
dia jangan menikahkan putrinya kepada orang yang diduga kuat tidak akan
memenuhi kewajibannya berupa memberi nafkah kepada keluarganya. Sebagaimana
ketidaksetujuan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala Fathimah bintu Qois
dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
“Adapun
Mu’awiyah, maka dia adalah lelaki yang sangat miskin lagi tidak mempunyai harta
sama sekali”.
Demikian halnya
jika yang melamar anaknya adalah seorang yang dianggap tidak baik pergaulannya
dalam berkeluarga, sebagaimana komentar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-
terhadap Abu Jahm yang juga melamar Fathimah bintu Qois:
“Adapun
Abu Jahm, maka dia adalah orang yang sering memukuli istrinya”16.
Silahkan berkomentar dengan bijak serta sesuai dengan topik ConversionConversion EmoticonEmoticon