Pasca runtuhnya rezim politik Orde Baru-nya Suharto yang
otoriter di tahun 1998. Indonesia ,
kemudian memasuki masa Reformasi, yang lantas disebut juga “Orde Reformasi”.
Orde Reformasi dicirikan dengan terjadinya apa yang oleh O’Donnell dan
Schmitter disebutnya fase “liberalisasi politik”. Fase ini secara teoritis
sebagai fase transisi dari otoritarianisme entah menuju kemana”.
Apa yang disebut liberalisasi adalah proses pendefinisian ulang
dan perluasan hak-hak. Liberalisasi merupakan proses mengefektifkan hak-hak
yang melindungi individu dan kelompok-kelompok sosial dari tindakan
sewenang-wenang yang dilakukan oleh negara. Liberalisasi politik awal pasca
Orde Baru ditandai antara lain terjadinya redefinisi hak-hak politik rakyat.
Ketika Orde Baru tumbang, setiap kalangan menuntut kembali
hak-hak politiknya yang selama bertahun-tahun dikerangkeng oleh negara.
Konsekuensi dari liberalisasi politik ditandai dengan terjadinya ledakan
partisipasi politik. Ledakan ini terjadi dalam bentuk yang beragam. Pada
tataran akar rumput (grass root),
ledakan partisipasi politik banyak mengambil bentuk huru-hara, kekerasan massa , amuk massa , atau praktek
penjarahan kolektif. Sementara ledakan partisipasi politik di kalangan elit
politik ditandai dengan maraknya pendirian partai politik.
Sebagai perwujudan dari ledakan partisipasi politik itu, para
elit politik berlomba-lomba mendirikan kembali partai politik, sehingga jumlah
partai politik banyak. Klimaks dari pendirian partai politik adalah
diselenggarakannya pemilu di tahun 1999. Inilah pemilu pertama pasca Orde Baru
dan pemilu kedua setelah pemilu 1955, yang oleh para pengamat asing disebut
sebagai pemilu paling bersih.
Pemilu 1999 juga dijadikan tonggak awal Orde Reformasi. Sebagai
orde transisi politik di Indonesia ,
maka sistem politik Indonesia
di masa reformasi dianggap sebagai sistem politik yang juga bersifat transisi.
Pertanyaan mendasar kemudian adalah, sampai kapan sistem politik Indonesia
berkutat pada tataran transisi?
Kran demokrasi yang tertutup rapat selama 32 tahun, berimbas
pada meledaknya partisipasi politik. Ini bukanlah hal yang mengejutkan, karena
banyak kalangan yang telah memperhitungkan sebelumnya. Sebuah sistem politik
yang sangat akut ini sedang mencari format terbaik, guna terciptanya sebuah
sistem yang sehat seperti yang digambarkan oleh David Easton.
Sebuah sistem merupakan sebuah keseluruhan yang saling
berinteraksi di dalamnya, di mana terdiri atas sub-sub sistem. Jadi sebagai
sebuah keseluruhan, sistem politik Indonesia perlu adanya sebuah
evaluasi ulang atas fungsi-fungsi lembaga berdasarkan aturan yang telah ada.
Proses input sebuah kebijakan haruslah kebutuhan mendasar sebuah masyarakat
yang ditafsirkan sebagai doa-doa makhluk terhadap Tuhannya, ibarat sebuah
harapan.
Sehingga proses yang berjalan merupakan transformasi nilai-nilai
kemanusiaan. Bukan berarti menafikan bahwa akan ada benturan kepentingan di
dalamnya, atau doa-doa tidak berakomodasi sepenuhnya, akibat begitu banyaknya
masyarakat Indonesia yang menjadi pengemis akibat keganasan sebuah rezim yang
‘menyulam’ lidah-lidah rakyat dengan benang sutra.
Reformasi yang terjadi pun adalah sebuah negosiasi kekuasaan
elit lama yang merasa kecewa atas seniornya, sehingga regulasi yang berjalan
harus dibayar dengan kelaparan di berbagai daerah. Perubahan adalah sebuah
keniscayaan, reformasi yang terjadi juga sebuah keniscayaan yang tidak pernah
diharapkan akan seperti ini, masyarakat pun kecewa dengan hal ini dan merasa
sakit. Sebagai salah satu bagian dari sebuah sistem politik maka yang hadir
adalah sebuah sistem politik yang tidak lagi menarik. Politisi terperangkap
pada keistimewaan akan dirinya sehingga tidak lagi menganggap rakyat adalah
bagian dari dunianya, yaitu politisi sebagai pelayan bagi umatnya, atau biasa
disebut oleh kalangan agamawan sebagai sosok nabi.
Masa sekarang ini pun sistem politik Indonesia masih mengalami krisis
yang memprihatinkan. Pasca reformasi yang harapannya akan ada format baru bagi
dunia politik ternyata mengalami kebuntuan. Hal ini dapat dilihat dari partai
politik yang menjadi bangunan dasar demokrasi, belum mampu untuk menjalankan
fungsinya dengan baik. Perubahan yang terlihat hanyalah pada kuantitas partai,
tapi masih menggunakan pola lama, artinya belum ada perubahan yang mendasar
dari reformasi yang dicita-citakan.
Sistem politik ini merupakan bagian dari sebuah sistem yang
besar, sehingga hal ini berimbas pada sektor yang lain. Seperti sebuah virus
yang menjangkiti sebuah bangsa, maka diperlukan seorang dokter dengan jarum
suntik di tangannya untuk menyembuhkan bangsa ini. Jarum suntik ini adalah
pendidikan politik yang merata, karena partisipasi politik masyarakat belumlah
cukup. Untuk itu dibutuhkan teropong yang lebih besar buat melihat masalah yang
hadir.
Transformasi nilai yang saya maksud di atas tadi adalah puncak
tertinggi nilai-nilai universal, yaitu filsafat politik. Filsafat politik
sebagai nilai-nilai universal adalah konstitusi tertinggi kemanusiaan, yang
membawa kita pada kemakmuran bersama. Jika mencoba membawanya pada realitas
politik, maka haru ada sebuah kedinamisan dan keadilan pengetahuan atau yang
dibahasakan oleh Muhammad Hatta pendidikan politik, guna pencapaian cita-cita
filsafat politik.
Legitimasi yang hadir saat ini adalah semu, karena tampil
sebagai topeng, rezim yang hadir pun hanya menjadikannya tiket menuju kelas
yang lebih tinggi, setelah sampai ditujukan dengan mudah untuk membuangnya ke
dalam keranjang sampah. Kondisi yang seperti ini terjadi tidak lain akibat
pengetahuan masyarakat yang masih kurang terhadap politik. Pemahaman atas
politik masih jauh dari harapan para filosof, sementara ilmu politik begitu
dinamis dan terus berkolaborasi dengan konteks budaya yang ada.
Keberagaman budaya yang ada pada bangsa kita sangat berpengaruh
pada perangkat politik yang ada pula, perangkat politik yang sangat penting
saya kira adalah partai politik yang melakukan adaptasi sebagai jawaban atas
tantangan modernitas. Oleh karena itu dibutuhkan partai yang modern pula
mengingat kebutuhan manusia yang semakin kompleks. Bukan hanya itu partai
pulalah yang harus menggantikan tanggung jawab negara untuk memberikan
pendidikan politik bagi masyarakat luas.
Sudah saatnya partai politik menebus budi atas suara yang telah
diberikan padanya oleh rakyat, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk menuju
kemakmuran bersama. Kemudian tantangan yang kedua adalah, partai politik harus
belajar untuk mandiri dalam banyak hal, mengingat kondisi bangsa yang
carut-marut. Untuk pembiayaan kampanye saja negara masih harus menanggungnya,
ini memperlihatkan bahwa partai politik masih sangat dimanjakan.
Banyaknya bencana kemanusiaan yang melanda bangsa ini,
seharusnya partai politik memperlihatkan eksistensinya pada rakyat, bukan hanya
pada momen tertentu saja. Dari sini dapat dikatakan bahwa partai politik belum
mampu menjalankan fungsinya di dalam masyarakat. Oleh karena dibutuhkan
kedinamisan maupun keseimbangan komponen-komponen yang ada dalam sebuah sistem,
maka komponen-komponen tersebut harus menjalankan fungsinya dengan baik. Sistem
ini pun tidak terlepas dari pengaruh yang hadir dari luar.
Logika politik luar negeri yang ada pun membenarkan asumsi
tersebut, di mana politik luar negeri merupakan cerminan politik dalam negeri.
Sehingga dibutuhkan kondisi politik yang kuat untuk dapat menunjukkan
eksistensi bangsa pada lingkup global. Pendidikan politik yang adil serta
memanusiakan manusia adalah cita-cita kemakmuran itu, dan sebagai sebuah
sub-sistem dari sistem yang lebih besar, yaitu dunia politik yang humanis
telah menjadi kebutuhan yang meniscayakan sebuah bangsa yang kuat.
Perlu diingat bahwa pendidikan politik itu bukan hanya pada
masyarakat saja, tapi juga bagi elit politik sebagai pemegang peran penting
dalam sebuah kebijakan. Hal ini menjadi sangat penting melihat realitas politik
yang ada di Indonesia
bahwa elit yang hadir bukanlah orang-orang yang begitu paham dengan politik.
Sehingga kebijakan yang lahir pun tidak lagi menjadi alat untuk mensejahterakan
rakyat, tapi sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan dan menjadi budak nafsu
keserakahan binatang.
Jadi sistem politik Indonesia harus dilihat sebagai
sebuah keseluruhan yang saling mempengaruhi, bukan ditafsirkan secara sempit
sebagai sebuah kesalahan sebuah rezim atau kejahatan elit politik semata.
2. Studi Kasus
Sistem politik digambarkan secara sederhana oleh David Easton
sebagai sebuah proses pembuatan kebijakan (konversi). Proses ini tidak lahir
begitu saja. Ada
sebuah proses yang mendahuluinya, yakni proses input atau masukan. Proses input
ini terdiri dari setidaknya dua variabel, yakni dukungan dan tuntutan (suplay and demand). Adapun
setelah terjadinya proses konversi dari kedua variabel input tersebut, maka
proses itu lantas disebut keluaran atau output. Keluaran dari sebuah sistem
politik dengan demikian disebut sebagai hasil kebijakan atau kebijaksanaan.
Kebijakan atau kebijaksanaan yang dilahirkan dari sebuah proses konversi dari
sebuah sistem politik tidak dengan sendirinya berakhir, melainkan terus
berproses dalam bentuk umpan balik (feed-back).
Demikian seterusnya, bahwa proses politik dari sebuah sistem politik tidak akan
pernah berakhir karena adanya proses feed-back tersebut.
Ambillah contoh kasus terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak
(disingkat: BBM). Naiknya harga BBM di awal Maret 2005 lalu, tak luput dari
beragam penilaian. Mulai dari aksi demonstrasi menolak kenaikannya sampai
kemudian persetujuan bahwa kenaikan harga BBM tak mungkin lagi kita tolak atau
tahan, dengan dua alasan mendasar. Pertama, karena harga minyak dunia sementara
melonjak. Kedua, untuk mengurangi pembiayaan negara (subsidi) atas sebagian
besar masyarakat yang seharusnya tidak layak untuk disubsidi, yakni orang-orang
kaya.
Proses inputnya terdiri dari dua, kelompok yang menolak naiknya
harga BBM yang diwakili secara pas oleh kelompok mahasiswa dan para aktivis
buruh yang memang secara nyata paling rentan terancam dengan kebijakan
tersebut. Kelompok kedua adalah mereka yang mendukung kenaikan harga BBM. Kelompok
yang mendukung ini dapat dibagi dua, kelompok yang melihatnya sebagai bagian
dari penyelamatan ekonomi negara (anti subsidi) dan kelompok yang secara
langsung dan tak langsung justru diuntungkan dengan naiknya harga BBM (para
pendukung neo-liberalis).
Ketika dikonversi untuk dijadikan sebagai sebuah kebijakan,
yakni bagaimana seharusnya BBM itu dikelola. Terjadi proses tarik-menarik
kepentingan di dalam parlemen Indonesia (DPR). Antara partai politik yang
mendukung dan tidak mendukung naiknya harga BBM. Proses politik yang terjadi,
pada awalnya, demikian alot dan keras. Partai-partai politik yang anti kenaikan
BBM kelihatan sangat bersungguh-sungguh untuk tetap sejalan dengan sebagian
masyarakat untuk menolak naiknya harga BBM.
Tetapi karena kuatnya kekuatan kelompok yang mendukung naiknya
harga BBM di DPR, kebijakan naiknya harga BBM tidak dapat diubah lagi.
Kebijakan itu dengan sendirinya menjadi output dari pemerintahan SBY-Kalla.
Tetapi meski demikian, ada sebuah kebijakan yang juga lahir di samping kebijakan
naiknya harga BBM, yakni kebijakan kompensasi (bantuan langsung tunai,
disingkat: BLT) bagi masyarakat kecil yang terimbas dengan keluarnya kebijakan
menaikkan BBM.
Pada tataran feed-back atau umpan balik. Jelaslah bahwa hingga
saat ini, sebagian masyarakat masih tetap menolak kebijakan yang dikeluarkan
oleh pemerintahan yang ada. Adapun kebijakan BLT pada kenyataannya tidak mampu
menjadi penopang ekonomi masyarakat menghadapi kenaikan harga sembako. Apalagi
ternyata, yang mendapatkan BLT tidak semuanya berkategori miskin, yang menurut
pemerintah mereka-mereka inilah yang seharusnya mendapatkannya. Kebijakan BLT
ternyata tetap disalahgunakan oleh aparat pemerintah di tingkatan bawah. Akibat
yang terjadi kemudian adalah terjadinya pemiskinan secara terstruktur oleh
negara terhadap masyarakatnya.
Silahkan berkomentar dengan bijak serta sesuai dengan topik ConversionConversion EmoticonEmoticon