Hukum Islam Tentang Lamaran




A. Pengertian
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan"zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbahKhitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
?????????? ??????? ???? ?????? ??????? ?????????? ????????? ?????????? ???????????? ???? ??????? ???? ???????????? ???? ??????????????? ?????? ??????? ?????? ????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ???? ??????? ??????? ??????? ????? ???????????????? ??????? ????????? ????? ?????? ??????? ????? ???????? ????? ???????? ??????? ????? ???????? ??????????? ??????? ????????? ????????????? ??? ??????????
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rosulullah saw bersabda "………Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya……" (Muttafaq 'alaih)
Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan.
B. Hukum Peminangan (Khitbah)
Memang terdapat dalam Alqur’an dan banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Alqur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’ yang mewajibkannya.
Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.
C. Syarat-Syarat Khitbah
Membicarakan syarat pinangan tidak dapat di pisahkan dari pembicaraan tentang halangannya. Karena itu di sini dibicarakan dalam satu subpokok bahasan, agar di perole gambaran yang jelas. Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah ini :
a) Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahram), tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
b) Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya "Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama' (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.
Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan terdapat dua cara :
a) Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami atau tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan : “saya berkeinginan untuk menikahimu”.
b) Menggunakan ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan : “tidak ada orang yang tidak senang kepadamu”.
Perempuan yang belum menikah atau sudah menikah dan telah habis masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran. Tidak boleh meminang seorang perempuan yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dinikahi; baik dengan menggunakan bahasa terus terang seperti : “Bila kamu dicerai suamimu saya akan menikahi kamu” atau dengan bahasa sindiran, seperti : “Jangan khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu”.
Perempuan yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj’i, sama keadaannya dengan perempuan yang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang bak dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran. Alasannya, ialah bahwa perempuan dalam iddah talak raj’i statusnya sama dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan. Sedangkan perempuan yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus terang, namun boleh meminangnya dengan bahasa sindiran
Perempuan yang sedang menjalani iddah dari talak ba’in dalam bentuk fasakh atau talak tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan cara sindiran, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang kematian suami. Kebolehan ini karena perempuan tersebut telah putus hubungannya dengan bekas suaminya.
D. Melihat Wanita Yang Dipinang
Waktu berlangsungnya peminangan, laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan melihat perempuan yang dipinangnya. Meskipun menurut asalnya seorang laki-laki haram melihat kepada seorang perempuan. Kebolehan melihat ini didasarkan kepada hadis Nabi saw dari jabir:
?????????? ??????? ???? ????????? ?????????? ?????? ?????????? ???? ??????? ?????????? ????????? ???? ????????? ???? ??????? ???? ??????????? ???? ??????? ???? ?????? ??????????? ???? ?????? ???? ??????? ???? ??????? ????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ????? ?????? ?????????? ??????????? ?????? ?????????? ???? ???????? ??????? ????? ??? ????????? ????? ?????????? ???????????? ????? ?????????? ????????? ???? ????? ???????? ???????? ?????????? ????? ?????? ????????? ?????? ???????? ??????? ?????? ??? ???????? ????? ?????????? ????????????????
Dari Mu’adz bin Jabir, Rosulullah saw bersabda: “……Bila seseorang diantara kamu meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan mendorong untuk menikahnya, maka lakukanlah…….”
Banyak hadis Nabi yang berkenaan dengan melihat perempuan yang dipinang, baik menggunakan kalimat suruhan, maupun dengan menggunakan ungkapan “tidak mengapa”. Namun tidak ditemukan secara langsung ulama’ mewajibkannya. Bahkan juga tidak dalam literature ulama’ Dzahiri yang biasanya memahami perintah itu sebagai suatu kewajiban. Ulama’ jumhur menetapkan hukumnya adalah boleh, tidak sunnah apalagi menetapkan hokum wajib.
Batas yang boleh dilihat
Meskipun hadis Nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh dilihat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Alasan disamakan dengan muka dan telapak tangan saja, karena dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannya dan dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui kesuburan tangannya.
Ulama’ lain seperti Al awza’iy berpendapat boleh melihat bagian-bagian yang berdaging. Daud Dzahiri berpendapat boleh melihat semua badan, karena hadis Nabi yang membolehkan melihat waktu meminang itu tidak menyebutkan batas-batasnya. Hal tersebut mengandung arti “boleh” melihat bagian manapun tubuh seorang perempuan. Walaupun yang demikian adalah aurat. Namun telah dikecualikan oleh Nabi untuk kepentingan peminangan.
Adapun untuk melihat kepada perempuan itu adalah saat menjelang menyapaikan pinangan bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setelah melihat ia akan dapat meninggalkannya tanpa menyakitinya.
E. Menikahi Wanita Tunangan rang Lain
Di atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari timbulnya sengketa umat manusia. Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain, sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.
Keadaan keadaan perempuan yang dipinang dapat dibagi dalam tiga hal :
a) Perempuan tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui pinangan itu secara jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
b) Perempuan tersebut tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang menyatakan ketidaksetujuannya baik dengan ucapan atau dengan tindakan atau isyarat.
c) Perempuan itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia menyenangi peminangan itu.
Perempuan dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang oleh seseorang. Sedangkan dalam keadaan kedua boleh dipinang karena pinangan pertama jelas ditolak. Adapun perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama’ diantaranya Ahmad bin Hanbal juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan perempuan dalam keadaan pertama. Namun, sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak haram meminang perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan pertama.
Tentang hukum pernikahan yang telah (terlanjur) dilaksanakan (melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain – dalam perbedaan pendapat ulama’-). Menurut Ahmad bin Hanbal dan Imam Asy Syafi’ie serta Imam Abu Hanifah pernikahan tersebut adalah sah dan tidak dapat dibatalkan. Menurut ulama’ Dzahiry pernikahan tersebut tidak sah dengan arti harus dibatalkan. Sedangkan pendapat ketiga dikalangan Malikiyah berpendapat, bila telah berlangsung hubungan kelamin dalam pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak dibatalkan sedangkan bila belum terjadi hubungan kelamin dalam pernikahannya maka pernikahan tersebut harus dibatalkan.
F. Pembatalan Tali Pertunangan
Memang sering kali tali pertunangan putus di tengah jalan tanpa membuahkan hasil sampai ke jenjang perkawinan, mungkin sebab terlalu lama menunggu, kondisi yang kurang mendukung atau karena kemelut badai yang mengguncang eratnya tali pertunangan hingga pudar.Ulama' berpendapat, boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh, sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah pengkhianatan ikatan janji setia.Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah tidak asing lagi, tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka, kebahagiaan yang indah, kenangan manis dan canda ria pun ikut hangus terbakar, kemelut mengguncang. Lalu bagaimana sikap ulama' menanggapi masalah ini?
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.
Pertunangan Dalam Islamhttp://images.multiply.com/common/smiles/smile.png
Hubungan seksual dengan seseorang apalagi dengan tunangannya merupakan hal yang lumrah, meski pun hal tersebut dapat menyebabkan penyakit-prnyakit seksual, hamil diluar nikah, keluarga dengan satu orang tua (singgle parent) dan perilaku seksual yang tidak wajar yang sudah lazim kita lihat sekarang. 
Sebagaimana pemahaman yang salah di masyarakat saat ini, pertunangan hanyalah sekedar “hubungan percobaan” antara pasangan laki-laki dan perempuan sebelum menikah atau sekedar hubungan cinta belaka atau hubungan sesaat, kadang putus dan kadang bersatu lagi. Semuanya hanyalah menjadi bagian “hubungan percobaan” itu, tanpa ada kesepakatan apapun yang dilanggar.
 Pertunangan berasal dari bahasa Melayu yang memiliki kesamaan arti dengan khitbah dalam Bahasa Arab atau dikenal dengan istilah meminang. Pertunangan atau khitbah atau pinangan, yaitu satu ikatan perjanjian yang berlaku diantara pihak lelaki dan pihak perempuan untuk mendirikan rumah tangga. Khitbah dimaksudkan untuk menutup kesempatan bagi pria lain meminang perempuan yang telah dipinang. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal bagi kamu penjualan di atas penjualan orang lain, dan tidak halal bagimu pertunangan di atas pertunangan orang lain”.
Sejarah pertunangan dilitirekan oleh Yunani. Sebelum menikah, masyarakat Yunani biasa melakukan pertunangan. Dalam hal ini, seorang pria meminta wanita yang dicintainya pada ayah sang wanita untuk dinikahi. Ketika kedua belah pihak menyepakati pernikahan itu, dipanggilah pendeta untuk memberkati cincin pertunangan dan menyematkannya di jari manis kiri masing-masing pasangan. Kemudian para tamu menyambut kebahagiaan tersebut dengan mengucapkan “Kala stephand” (mahkota baik, semoga pernikahannya baik). Lucunya, kebiasaan ini tak dilakukan lagi di Athena, tapi justru berkembang di luar Athena.Dalam Islam, pertunangan pertama kali dilakukan pada masa jahiliyah. Imam Bukhari meriwayatkan melalui Aisyah ra., bahwa pada masa jahiliyah dikenal empat macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, lalu membayar mahar dan menikah. Kedua, seorang suami memerintahkan istrinya untuk menikah dengan orang lain guna memperoleh keturunan yang baik. Apabila telah hamil, ia kembali pada sang suami untuk digauli lagi. Ketiga, sekelompok laki-laki kurang dari 10 orang menggauli satu wanita. Bila wanita itu hamil dan melahirkan, ia memanggil sekelompok laki-laki tadi dan menunjuk satu diantara mereka untuk memberi nama pada sang anak. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh seorang pelacur. Sang pelacur memasang tanda di depan pintu rumah mereka dan bercampur dengan siapapun.
Setelah Islam datang, cara-cara pernikahan yang kedua, ketiga, dan keempat tersebut dilarang. Cara pernikahan pertamalah yang dibolehkan dalam Islam. Di sinilah mulai dilestarikan budaya pertunangan atau khitbah.
Meski tidak diatur secara khusus dalam Islam, namun terdapat rujukan tentang pertunangan dalam Al Qur’an dan hadits. Karenanya, perhelatan pertunangan lebih banyak mengikuti adat yang berlaku. Tiap daerah memiliki perbedaan dalam memaknai dan menyelenggarakan pertunangan.
Adat pertunangan tersebut boleh diikuti selama tidak bertentangan dengan Islam. Senada dengan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad; Rasulullah SAW bersabda, “Sesuatu perkara atau perbuatan yang dianggap baik oleh masyarakat Islam adalah baik di sisi Allah”.
Tujuan Pertunangan
Pertunangan dimaksudkan untuk membuka ruang antar pasangan untuk saling mengenal sebelum menikah, baik dari segi lahiriah maupun batiniah. Dari mughirah bin Syu’bah berkata, “Aku pernah melamar seorang wanita. Lalu Nabi SAW bersabda, “Lihatlah ia, karena yang demikian itu akan melanggengkan kasih sayang antara kalian berdua” (HR. Nasa’I, Ibnu Majah dan Tirmidzi). Dalam hal ini jumhur ulama membatasi anggota tubuh yang boleh dilihat, yaitu wajah dan kedua tangan.
Hanya Sebatas Perjanjian
Pertunangan hanya sebatas perjanjian untuk mengadakan pernikahan dan tidak mewujudkan pernikahan tersebut. Artinya, masing-masing pihak berhak untuk membatalkan. Namun bila tidak ada alasan yang tepat, maka kedua belah pihak dilarang membatalkannya. “Wahai orang-orang yang beriman, tunaikan serta sempurnakan perjanjian-perjanjian kamu” (QS. 5: 1). Dalam hal ini, pihak yang diputuskan dapat meminta ganti rugi pada pihak yang memutuskan.
Adab Pertunangan
* Setiap pertemuan dengan calon suami, hendaklah calon istri ditemani oleh mahram
* Hindari ber-khalwat (berdua-duaan)
* Pembicaraan yang diutarakan sebisa mungkin terhindar dari nafsu dan syahwat
* Dalam berpenampilan, haruslah menutup aurat sebagaimana yang telah digariskan Islam.
Masa Pertunangan
Pada hakikatnya Islam mewajibkan untuk mempersingkat masa pertunangan dan mempercepat pernikahan. Lamanya masa pertunangan dikhawatirkan akan:
* Memutuskan hubungan pertunangan, karena peluang untuk menghitung-hitung kekurangan calon suami/istri semakin lebar.
* Memberi kesempatan pada orang lain untuk menyukai salah satu calon suami/istri.
* Menambah daftar maksiat yang dibuat, karena sulitnya menghindar diri dari perbuatan dosa.
* Mengganggu prestasi studi dan kerja, karena diusik gejolak rindu.
 Hukum Melamar Perempuan Yang Sudah Dilamar
 (Hukum Melamar Wanita dalam Masa Iddah)
Tafsir Ayat : 235

Tafsir Ayat : 235
Sumber :
1. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
2. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
3. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)

?????????? ??????????? ????? ????????? ????? ??????? ?????? ?????????? ????? ?????? ??????? ?????????? ???? ????????????? ??????????????? ?????????? ?????????? ??????????? ????? ?????? ?????? ??????????? ?????????? ???????????? ???????????? ??????????????? ??? ???????????? ??????????????? ?????? ???????????? ????? ????????? ??????????? ???????? ????? ?????? ????? ???????? ????????



Meskipun Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu kewajiban, dalam masalah janji akan menikah ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan yang sah menurut Islam untuk memutuskan hubungan petunangan. Misalnya, diketahui adanya cacat fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa waktu setelah pertunangan, yang dirasakan akan mengganggu tercapainya tujuan itu tidak dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.
Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam. Misalnya, karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan. Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah yang sering muncul adalah pada masa peminangan, pihak laki-laki memberikan hadiah-hadiah pertunangan atau – mungkin – mahar telah dibayarkan kepada pihak perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan, bagaimana nasib hadiah-hadiah atau mahar tersebut apabila akhirnya pertunangan terputus? Apakah dikembalikan pada pihak laki-laki atau tetap menjadi hak sepenuhnya calon istri yang urung tersebut? Mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah (dalam masa tunangan) menjadi hak laki-laki, kecuali apabila direlakan, sebab kewajiban suami membayar maskawin adalah setelah terjadi ikatan pernikahan.
Sedangkan mengenai hadiah-hadiah pertunangan, seperti tanda pengokoh (peningset atau pikukuh di jawa) para ulama’ berbeda pendapat :
a. Sebagian ulama' (Syafi’iyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh menuntut kembali atas pemberiannya, baik pembatalan tunangan tersebut bersumber dari pihak mempelai pria maupun dari mempelai wanita, dan jika barang pemberian tersebut telah rusak atau berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya.
b. Madzhab Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan, maka kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan atau rusak, maka kedua belah pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas pemberiannya itu.
c. Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki pembatalan tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, dan harus mengembalikan hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak lain baik barangnya masih utuh ataupun telah rusak, atau berubah menjadi barang lain. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dibanarkan apabila ada syarat lain antara keduabelah pihak, atau apabila ‘urf (adat kebiasaan) tempat piha-pihak bersangkutan mengatakan lain.
G. Akibat Hukum Pinangan
Pada prinsipnya apabila peminangan telah di lakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang wanita, belum berakibat hukum. Kompilasi menegaskan :
1. pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
2. Kebebasan memutuskan hubungan pinangan di lakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saaling menghargai.
Peminangan itu adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului pernikahan. Namun peminangan itu bukan suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminang atau pihak yang dipinang dalam masa menjelang pernikahan dapat saja membatalkan pinangan tersebut, meskipun dulunya ia menerima. Meskipun demikian, pemutusan peminangan tersebut sebaiknya dilakukan secara baik dan tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara pinangan tersebut tidak mempunyai kaitan apapun dengan mahar yang diberikan kemudian dalam pernikahan. Dengan demikian, pemberian tersebut dapat diambil kembali bila peminangan itu tidak berlanjut dengan pernikahan.
Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang selama masa antara peminangan dan perkawinan adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan asing (ajnabi dan ajnabiyah). Oleh karena itu, belum berlaku hak dan kewajiban (suami-istri) diantara keduanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pasal 13 sendiri dibahas tentang akibat hukum suatu peminangan. “hukum” yang dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak menimbulkan akibat hukum yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat hukum sebagaimana yang tertulis dalam pasal 12 (peraturan pinangan) ayat 3 yaitu tidak boleh meminang wanita yang masih dalam pinangan orang lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita. Disisis lain, dalam pasal 12 poin 1 yang berbunyi “peminangan dapat dilakukan terhadap seorang yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.” Dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya namun masih dalam masa iddah, boleh dilamar namun harus dengan cara kinayah (sindiran) tidak boleh menggunakan cara yangshorih (jelas). Begitu juga dengan seorang wanita yang menjalani masa iddah dari talaq ba’in dalam bentuk fasakh atau talaq tiga boleh dipinang namun dengan cara sindiran.
Begitulah tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan, mungkin karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan yang wajib dibuat acuan malah dilupakan.
Dengan demikian cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah awal menuju perkawinan, namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan diantaranya sebagai berikut:
1) Punya rencana kapan penikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara tunangan dan perkawinan terlalu lama.
2) Sudah yakin siap mengikatkan diri pada satu orang.
3) Menikah dengan motivasi yang positif.
4) Kesiapan kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.
5) Status pendidikan dan penghasilan pasangan.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum islam di indonesia cetakan pertama PT rajawali pers.
Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
Undang-undang perkawinan Indonesia 2007 (Kompilasi Hukum Islam). Cetakan I, WIPRESS
Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press. Yogyakarta
Bagi sebagian orang Islam, pertunangan ini dianggap sama dengan khitbah, atau lamaran. Khitbah atau lamaran sendiri artinya adalah permintaan dari pihak lelaki kepada wali pihak wanita untuk menikahi si wanita tersebut. Memang perbedaan antara tunangan dan lamaran bagi sementara orang sangat tipis, sebab keduanya adalah sama-sama salah satu tahap pra nikah. Tetapi kalau dicermati ada perbedaan di antara keduanya yang cukup signifikan. Berikut ini adalah beberapa fakta perbedaan antara tunangan dan khitbah.
Pertama; Dalam hukum Islam, lamaran itu disampaikan kepada wali calon mempelai wanita, khususnya jika ia masih gadis. Sedangkan dalam tunangan tidak ada aturan agar tunangan itu disampaikan kepada walinya. Pernyataan tunangan itu bisa disampaikan kepada wali, ibu, kakak perempuan, atau bahkan calon mempelai itu sendiri.
Kedua, dalam ajaran agama Islam, jika lamaran itu diterima maka proses pernikahan akan diusahakan bisa dilaksanakan secepatnya. Soal rentang waktu memang relatif, tergantung kesiapan masing-masing individu. Tetapi pada umumnya tidak sampai hitungan tahun sudah kelar. Persoalan yang biasa cukup menghambat adalah persiapan resepsi yang membutuhkan dana cukup besar. Sedangkan dalam tunangan, pernikahan itu masih cukup jauh jaraknya, bahkan bisa bertahun-tahun.
Ketiga, orang yang sudah melamar seorang wanita tetap akan menjaga diri dalam bergaul dengan calon pengantin wanitanya. Karena keduanya belum terikat pernikahan maka keduanya masih haram untuk bertemu, berdua-duaan di tempat yang sepi.
Sementara kebiasaan yang terjadi pada tunangan, orang yang sudah saling bertunangan akan semakin mengeratkan hubungan mereka. Mereka akan semakin sering bertemu, kirim kabar, atau yang semisalnya. Kadang-kadang dalam beberapa hal sudah saling menanggung urusan tunangannya, seperti dalam jual beli dan hutang piiutang. Bahkan hal yang dilarang dalam masa pasca lamaran bisa dianggap boleh oleh pasangan yang telah bertunangan. Hingga tak jarang di antara pasangan yang bertunangan ini ada yang telah melakukan pola kehidupan layaknya suami isteri. Hal ini sudah tidak mengejutkan lagi dalam kehidupan masyarakat saat ini. Mereka berani melakukan demikian karena merasa sudah pasti akan dilakukannya ikatan pernikahan.
Keempat, lamaran didasari tekad yang kuat untuk mengikat tali pernikahan. Untuk menambah kuatnya hasrat untuk menikah ini disyari’atkan untuk nadhar (melihat) calon mempelai sebelum adanya lamaran. Dasarnya adalah hadis nabi
????? ?????? ?????????? ??????????? ?????? ?????????? ???? ???????? ????? ??? ????????? ????? ?????????? ????????????
Apabila salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, jika mampu untuk melihatnya agar mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah (HR Abu Dawud)
Adanya syari’at untuk melihat calon pasangan sebelum melamar ini karena di dalam lamaran kedua belah pihak belum akrab. Tetapi ini pun bukan sebuah persyaratan yang harus dilalui. Andaikata hanya dengan melihat foto, atau mendapat cerita dari orang kepercayaannya sudah cukup, maka dengan cara demikian pun boleh saja. Bahkan tidak melihat dan tidak mengetahui sama sekali calonnya, karena begitu tinggi tawakkalnya, itupun boleh.
Sementara pertunangan tidak akan ada ajaran nadhar, sebab sejak bertahun-tahun lamanya sudah saling melihat, saling menyapa dan bergaul, bahkan mungkin lebih dari itu. Hingga tunangan bisa dikatakan hanyalah sekedar meningkatkan intensitas “hubungan percobaan” antara pasangan laki-laki dan perempuan sebelum menikah atau sekedar hubungan cinta belaka atau hubungan sesaat. Semuanya hanyalah menjadi bagian “hubungan percobaan” itu, tanpa ada kesepakatan apapun yang dilanggar.
Antara lamaran dan tunangan memang tipis, letak perbedaan yang paling mendasar antara keduanya adalah pada landasan ideologis. Lamaran dilandasi oleh semangat menjalankan syari’at islam, sementara tunangan hanya dilandasi oleh rasa suka dan cinta belaka. Khitbah diatur dengan aturan Islam, sementara tunangan diatur dengan aturan adat dan tradisi belaka. Khitbah terikat dengan moral islam sementara tunangan tidak ada yang mengikatnya. Khitbah lahir dari peradaban islam, sementara tunangan lahir dari peradaban Barat.
Sayangnya banyak kaum muslimin saat ini yang tidak peduli dengan peristilahan yang berkembang di masyarakat. Padahal bermula dari istilah itulah, kemudian tradisi-tradisi yang lain pun akan mengikuti. Kita saksikan perbedaan lagi dalam pelaksanaan lamaran yang islami, biasanya tidak ada perayaan besar-besaran. Kenapa demikian, karena masih disadari bahwa proses ini bisa berlanjut dan bisa pula batal. Tetapi dalam tunangan sebaliknya, justru dilakukan pesta besar, karena merupakan perayaan kesuksesan atas fase pertama, yakni pacaran. Karena dianggap sebagai sebuah kesuksesan, maka selayaknya diadakan pesta perayaan.
Selain perayaan yang ditandai dengan makan-makan, kadang-kadang juga terdapat acara ritual yang diimpor dari budaya Barat seperti tukar cincin dan budaya non Islam lainnya (misalkan memakai pakaian dalam warna tertentu). Dalam Islam tidak dikenal tradisi tukar cincin, lalu saling memakai cincin tanda perkawinan. Jangankan memakai cincin perkawinan, memakai emas saja bagi kaum muslimin dilarang. Rasulullah saw bersabda
???? ????? ?????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ????? ????? ??????? ????? ??????? ??????? ????????? ???????? ?????????? ??????????? ??????????? ????? ??????????
Dari Abu Musa, bahwa Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Allah swt menghalalkan bagi wanita umatku emas dan sutera, tetapi mengharamkan bagi laki-laki umatku (HR an-Nasa’i)
Memakai cincin emas bagi laki-laki muslim adalah terlarang. Melakukan tukar cincin juga terlarang, sebab hal tersebut berarti meniru-niru tradisi non muslim. Rasulullah saw bersabda
???? ????? ?????? ????? ????? ??????? ??????? ??? ???? ???? ???? ???? ????????? ???????? ?????? ????????
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Barangsiapa meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka (HR Abu Dawud)
Islam tidak pernah mengajarkan pola hubungan seperti tunangan itu. Khitbah dalam islam senantiasa diikat dengan nilai dan moral Islam. Segala bentuk hubungan antara calon lelaki dan calon wanita yang sudah melakukan khitbah adalah sama dengan hubungan laki-laki dan wanita yang tidak terikat khitbah. Hal ini haruslah menjadi perhatian kaum muslimin, agar tidak kehilangan jati diri dan budayanya. Allahu a’lam bish-shawab
Pertunangan adalah istilah yang digunakan dalam masyarakat yang berarti bahwa seseorang telah terikat janji dengan orang lain dengan maksud untuk menikah nantinya. Di negara Barat, “tunangan” atau pertunangan ini dapat berlangsung selama bertahun tahun tanpa ada kepastian untuk menikah dan lebih jauh lagi tanpa ada kesepakatan apa pun. Selama tunangan, pasangan tersebut boleh bersenang-senang termasuk melakukan hubungan seksual. Hal ini sudah tidak mengejutkan lagi dalam kehidupan masyarakat saat ini.
Sayangnya banyak kaum muslimin saat ini yang melakukan hal tersebut. Ketika acara pertunangan, pesta besar pun diadakan, dimana terdapat acara ritual yang ditiru dari budaya Barat seperti tukar cincin dan budaya non Islam lainnya (misalkan memakai pakaian dalam warna tertentu).
Dalam pesta-pesta seperti ini melibatkan percampuran laki-laki dan perempuan serta aktivitas atau perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Islam. Setelah itu pasangan tersebut mempunyai hubungan khusus, baik dengan atau tanpa hubungan badan, sebelum menikah. Apalagi mereka berhubungan melalui surat , pembicaraan lewat telefon ataupun saling bertemu, dan hal ini diperbolehkan karena mereka telah bertunangan.
Dalam Islam hubungan seperti ini tidak ada. Satu-satunya cara agar laki-laki dan perempuan dapat mempunyai hubungan yang khusus baik secara emosional maupun fisik adalah melalui pernikahan.
Definisi “pertunangan“ dalam Islam adalah kesepakatan pribadi dengan maksud untuk menikah antara laki-laki muslim yang sesuai atau pantas dengan perempuan muslim melalui walinya, yaitu wali Amr.Penjelasan hal ini yaitu:
1.  Kesepakatan pribadi maksudnya perjanjian rahasia antara keduanya.
2. Laki-laki muslim yang pantas maksudnya adalah dia harus seorang muslim, baligh, dan bijaksana.
3. Perempuan yang pantas maksudnya adalah dia harus seorang muslim, atau perempuan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani).
Dalam memilih pasangan wanita, perlu bagi kita untuk mengingat hadits Rasulullah saw. Abu Hurairoh menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
”wanita dinikahi karena empat hal yaitu karena kekayaannya, keluarganya, kecantikannya dan agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya karena jika tidak kamu akan menjadi orang yang merugi.”
Hadits ini mengingatkan kita pada semua yang sudah terjebak dalam kehidupan non Islam, dimana sekedar mencari kesenangan materi dari pasangannya. Akhirnya pertunangan dalam Islam haruslah tetap terjaga kerahasiaannya dan jika hubungan keduanya terputus maka keduanya dilarang untuk menceritakan apa yang telah mereka bicarakan atau yang telah mereka lihat dari keduanya.
Dalam Islam pertunangan bisa berlanjut pada pernikahan dan juga bisa tidak tergantung pada keduanya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan berbagai naluri yang membutuhkan pemenuhan, dan Allah juga memberikan kita solusi untuk memenuhinya. Diantara naluri-naluri manusia, secara fitroh manusia mencari pasangan hidup dan untuk itu kita memenuhi naluri tersebut melalui jalan pernikahan saja. Setiap muslim harus ingat bahwa kita semua adalah hamba Allah swt dan bukan menjadi budak manusia atau budak nafsu.
Cara pertunangan dengan gaya Barat yang buruk ini tidak boleh kita terapkan dalam kehidupan kita, karena bertolak pada firman Allah SWT :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia telah menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram padanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda pada kaum yang berfikir”. (QS.30: 21).


Pada suatu hari, ada kejadian yang menyebutkan bahwa salah seorang ustadz yang juga tokoh masyarakat di ibu kota, didatangi oleh seorang pemuda dengan maksud untuk melamar anak perempuannya yang belum menikah, ustadz tersebut menjawab:  “Anak saya sudah ada yang melamar.”

Apakah jawaban tersebut menunjukkan bahwa seorang perempuan yang sudah dilamar oleh laki-laki, baik perempuan tersebut menerima, menolak, atau belum memberikan jawaban atas lamaran tersebut, pasti tidak boleh bagi laki-laki lain untuk melamarnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu bahwa para ulama membagi perempuan yang telah dilamar seorang laki-laki, menjadi tiga keadaan :


Keadaan Pertama :
Perempuan tersebut sudah dilamar oleh laki-laki lain dan telah menerima lamarannya, maka tidak dibenarkan laki-laki lain datang untuk melamarnya, sampai laki-laki yang pertama membatalkan lamarannya atau mengijinkan orang lain untuk melamarnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim,Kairo, Dar al Bayan, 1407/1987,  jilid 3, juz 9 : 197, begitu juga oleh Ibnu Qudamah, di dalam Al-Mughni, 10/ 567 .
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
??? ???????? ????????? ????? ???????? ??????? ????? ??????? ????? ?????? ???????
Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya.” (HR Muslim, no : 2519 )
Di dalam riwayat Ibnu Umar ra, bahwasanya ia berkata :
????? ?????????? ?????? ??????? ???????? ????????? ???? ??????? ?????????? ????? ?????? ?????? ????? ???????? ????????? ????? ???????? ??????? ?????? ???????? ?????????? ???????? ???? ???????? ???? ??????????
“ Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya  meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” ( HR Bukhari, no : 4746 )
Hanya saja, para ulama berbeda di dalam menafsirkan larangan dalam hadits di atas, sebagian dari mereka mengatakan bahwa larangan tersebut menunjukkan keharaman, sedang sebagian yang lain  berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan makruh bukan haram. Bahkan Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah mengatakan: “Maksud dari larangan hadits di atas, yaitu jika orang yang shalih melamar seorang perempuan, maka tidak boleh laki-laki shalih yang lain melamarnya juga. Adapun jika pelamar yang pertama bukan laki-laki yang shalih (orang fasik), maka dibolehkan bagi laki-laki shalih untuk melamar perempuan tersebut.” (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke – 10 , juz :  2 /3 )
Apa hikmah di balik pelarangan tersebut? Hikmahnya adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena lamarannya yang sudah menerimanya kok tiba-tiba membatalkannya hanya karena datang laki-laki lain, dan ini akan berpotensi terjadinya permusuhan, kebencian, dan dendam antara satu dengan yang lain.
Bagaimana hukumnya jika laki-laki kedua bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi status pernikahan antara keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus dibatalkan. Ini adalah pendapat Dawud dari madzhab Zhahiriyah.
Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan hubungan seksual , maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Imam Malik.
Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan tidak batal. .  ( Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, juz :  2 /3 )

Keadaan Kedua :
Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki lain, tetapi perempuan tersebut  menolak lamaran itu atau belum memberikan jawaban. Di dalam mazhab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini, yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. ( Al Khatib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994, Cet ke – 1, Juz : 4/ 222 )
Dalilnya adalah hadist Fatimah binti Qais  yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian beliau datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengadu :
??????? ???????? ???????? ???????? ???? ????? ??????????? ???? ????? ????????? ??????? ?????? ?????????? ??????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ??????? ???? ????????? ???????? ??????????? ??????????? ??? ????? ???? ???????? ????????? ???? ?????? ???????????? ????? ????? ???????? ????????? ???????????? ???????? ??????? ????? ??????? ?????????????
Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “ Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul ), sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku meras bahagia hidup dengannya. ( HR Muslim, no : 2709 )
Berkata Imam Syafi’i menerangkan hadits di atas :
??? ?????????? ????????? ??????? ??????? ??? ??????? ???? ???? ????? ????? ?????? ????????????? ?????????? ????? ??????? ??? ????? ??????? ???????? ????? ???????? ??????????? ?????? ???????? ???????? ??? ??????????? ????? ???????? ????????? ??? ?????????? ???? ???????? ?? ??????? ????????? ??????????? ??? ????? ??? ?????? ????????????? ?? ???????? ???? ??? ???? ?? ??????????? ??? ?????????? ??? ??????????? ????? ????? ?????? ?????? ??????? ????????????? ????? ??????????? ????????? ?????? ???????? ???? ???????? ?????????????? ?? ???????? ?????? ?????????? ?? ?????? ??????????? ?? ?????? ????????
“Fathimah telah memberitahukan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarnya, dan saya tidak ragu-ragu, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa lamaran salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fathimah telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melamar Fathimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya dalam keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang wanita yang sudah dilamar orang lain).  Saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang perbuatan Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti, orang lain tidak boleh melamarnya lagi “ ( Al Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah, 1993, cet – 1 : Juz  5/ 64  )
Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga orang : Jarir bin Abdullah, Marwan bin Al Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia belum memberikan jawabannya. (Ibnu Qudamah, al Mughni : 9/ 568 )

Keadaan Ketiga :
Perempuan yang dilamar tersebut belum memberikan jawaban secara jelas, hanya saja ada tanda-tanda bahwa dia menerima lamaran tersebut. Maka hukum melamar perempuan yang sudah dilamar dalam keadaan seperti ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya :
Pendapat Pertama: Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan tersebut sudah menerima lamaran tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadits Ibnu Umar yang menyebutkan larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.
Pendapat Kedua: Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid (pendapat yang terbaru). Menurut kelompok ini bahwa di dalam hadits Fathimah binti Qais menunjukkan bahwa dia  (Fathimah ) sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu dari dua laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah shalallahu alaihi wasallam tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini menunjukkan kebolehan.
Selain itu, di dalam hadits tersebut tidak disebutkan bahwa nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bertanya terlebih dahulu sebelum melamarkan untuk Usamah, apakah Fathimah sudah cenderung kepada salah satunya atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa kebolehan melamar seorang perempuan secara umum selama belum memberikan jawaban pada lamaran sebelumnya.
Pendapat yang lebih benar dari dua pendapat di atas adalah pendapat pertama yang menyatakan haram hukumnya melamar perempuan yang sudah kelihatan kecenderungannya kepada laki-laki yang melamarnya, walaupun belum diungkapkan dalam kata-kata, karena kecenderungan sudah bisa dianggap sebagai persetujuan. Wallahu a’lam.

????? ??????? ?????????? ?????? ?????????? ???? ???? ???????? ?????????? ???? ???????????? ??? ??????????? ?????? ????? ????????? ?????????????????? ??????? ???? ??????????????? ?????? ?????? ??? ????????? ??????? ??????????? ????? ?????????? ???????? ?????????? ?????? ???????? ?????????? ???????? ??????????? ????? ????? ???????? ??? ??? ??????????? ???????????? ??????????? ????? ????? ??????? ???????? {235}
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al-Baqarah: 235).
Ini merupakan hukum bagi wanita-wanita yang dalam iddah, baik karena kematian suami atau perceraian talak ketiga dalam kehidupan, yaitu diharamkan bagi selain suami yang telah mentalak tiga untuk menyatakan secara jelas keinginannya untuk meminangnya, itulah yang dimaksudkan dalam ayat,  [ ?????? ???? ??????????????? ??????]   “dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia”.
Adapun sindiran Allah Ta’ala telah meniadakan dosa padanya. Perbedaan antara kedua hal itu adalah bahwa pengakuan yang jelas tidaklah mengandung makna kecuali pernikahan, oleh karena itu diharamkan, karena dikhawatirkan wanita itu mempercepat dan membuat kebohongan tentang selesainya masa iddahnya karena dorongan keinginan menikah. Disini terdapat indikasi tentang dilarangnya sarana-sarana (yang mengantarkan) kepada hal yang diharamkan, dan menunaikan hak untuk suami pertama adalah dengan tidak mengadakan perjanjian dengan selain dirinya selama masa iddahnya.
Adapun sindiran memiliki kemungkinan bermakna pernikahan dan selainnya. Maka ini boleh dilakukan terhadap wanita yang ditalak tiga tersebut seperti dia berkata kepada wanita itu, “Sesungguhnya saya ini berkeinginan menikah dan saya sangat senang sekali kalau kamu memberi pendapatmu untukku ketika iddahmu telah selesai” atau semacamnya. Hal ini boleh karena tidak seperti pernyataan secara tegas yang dalam dirinya ada dorongan yang kuat dalam hal tersebut. Demikian juga seseorang boleh menyembunyikan dalam dirinya keinginan menikah dengan seorang wanita yang masih dalam masa iddahnya apabila telah selesai iddahnya. Karena itu Allah berfirman, { ???? ???????????? ??? ??????????? ?????? ????? ????????? ?????????????????? } “Atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka”. Perincian ini semuanya adalah mengenai hukum-hukum sebelum akad nikah, sedangkan akad nikah maka tidak boleh dilakukan, { ?????? ???????? ?????????? ???????? } “sampai habis iddahnya”, artinya, sempurna masa iddahnya.
{ ??????????? ????? ????? ???????? ??? ??? ??????????? } “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu”, maksudnya, dan berniatlah kalian yang baik dan janganlah kalian berniat yang jelek karena takut akan hukumanNya dan mengharap pahalaNya, [??????????? ????? ????? ??????? ] “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun” bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa lalu dia bertaubat darinya dan kembali kepada Rabbnya, { ??????? } “Lagi Maha Penyantun”, di mana Allah tidak mempercepat hukuman atas kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat, padahal Allah mampu melakukannya.
Pelajaran dari Ayat:
·         Haramnya mengkhitbah (melamar) seorang wanita yang masih dalam masa iddah (masa iddahnya belum selesai), secara terang-terangan dengan lafadz (ucapan yang jelas)
·         Bolehnya menawarkan diri kepada wanita tersebut dengan sindiran (isyarat) atau ucapan-ucapan yang tidak terang-terangan (seperti ucapan: ‘sesungguhnya saya ingin sekali menikah’, atau ‘jika masa iddahmu telah selesai bermusyawarahlah denganku jika engkau ingin menikah’, atau ‘saya sangat senang dengan wanita sepertimu’, atau ucapan-ucapan yang semisal).
·         Haramnya melakukan aqad nikah terhadap wanita yang sedang menjalani masa iddah, dan hal ini tentunya lebih utama keharamannya selama khitbah (melamar) diharamkan. Dan barangsiapa yang melakukan aqad nikah dengan wanita yang belum habis masa iddahnya maka keduanya di fash (dipisahkan) dan tidak dia halal lagi baginya setelah hukuman tersebut selamanya.
·         Wajibnya muraqabatullah (merasa adanya pengawasan Allah Ta’ala) dalam keadaan sendirian atau dihadapan khalayak ramai, dan membentengi diri dari peyebab-penyebab terjerumusnya kepada perbuatan haram.
Bersambung insya Allah…
Di kumpulkan oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim

ADAB-ADAB MELAMAR PINANGAN

Pelamaran adalah semua perbuatan yang dilakukan yang bertujuan untuk melangsungkan pernikahan. Karenanya, sebelum terjun membicarakan tentang adab-adab melamar, maka ada baiknya jika kita menyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang menunjukkan keutamaan pernikahan yang sekaligus menunjukkan keutamaan melamar, karena tidak mungkin ada pernikahan kecuali didahului oleh proses pelamaran.
Ada beberapa dalil dari Al-Qur`an yang menunjukkan keutamaan pernikahan, di antaranya:
·         Surah Ar-Rum ayat 21.
?????? ???????? ???? ?????? ????? ????? ??????????? ?????????? ????????????? ????????? ???????? ????????? ?????????? ?????????? ????? ??? ?????? ???????? ????????? ??????????????
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21)
Surah Ar-Ra’d ayat 38.
???????? ??????????? ??????? ???? ???????? ??????????? ?????? ?????????? ???????????? ????? ????? ????????? ??? ???????? ??????? ?????? ???????? ?????? ??????? ?????? ???????
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar-Ra’d: 38)
·         Surah Ali ‘Imran ayat 38.
????????? ????? ?????????? ??????? ????? ????? ???? ??? ??? ????????? ?????????? ????????? ??????? ??????? ?????????
“Di sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do`a”. (QS. Ali-‘Imran: 38)
·         Surah Al-Furqan ayat 54.
?????? ??????? ?????? ???? ??????? ??????? ?????????? ??????? ????????? ??????? ??????? ????????
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”. (QS. Al-Furqan: 54)
Adapun sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka telah datang dari beberapa orang sahabat, di antaranya:
1. Hadits Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada tiga orang sahabat yang mau memfokuskan untuk beribadah dan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan, di antaranya adalah pernikahan:
“Barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
2. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan maka hendaknya dia menikah, karena hal tersebut lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa adalah benteng baginya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Beberapa perkara penting sebelum pelamaran
Sebelum melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya memperhatikan beberapa perkara berikut sebelum menentukan wanita mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain berguna untuk melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak.
Berikut penyebutan perkara-perkara tersebut:
1. Tidak boleh melamar wanita yang telah lebih dahulu dilamar oleh saudaranya sesama muslim.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Tidak boleh seorang lelaki melamar di atas lamaran saudaranya”1.
Dalam sebuah riwayat:
“Kecuali jika pelamar pertama meninggalkan lamarannya atau dia (pelamar pertama) mengizinkan dirinya”2.
Batasan dari larangan ini adalah kapan diketahui bahwa pelamar pertama telah meridhoi (baca: setuju dengan) wanita tersebut dan demikian pula sebaliknya maka tidak boleh bagi orang lain untuk melamar wanita tersebut. Jika tidak diketahui hal itu atau bahkan diketahui bahwa salah satu pihak tidak meridhoi pihak lainnya maka boleh ketika itu orang lain untuk melamar wanita tersebut. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada sahabiyah Fathimah bintu Qois, tatkala dia sudah lepas dari ‘iddah thalaqnya, maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm bersamaan melamarnya3.
Catatan: Sebagian ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar jika pelamar pertama adalah orang fasik atau ahli bid’ah, wallahu A’lam.
2. Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita memperhatikan hal-hal berikut:
(a). Kesholehan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.
Karenanya, hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita yang paling baik:
“Wanita yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya dan harta suaminya”4.
Bahkan Allah -Ta’ala- berfirman:                                
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa`: 34)
Qonitat, Sufyan Ats-Tsaury -rahimahullah- berkata, “Yakni wanita-wanita yang mentaati Allah dan mentaati suami-suami mereka”5.
Dan Imam Qotadah bin Di’amah berkata menafsirkan “hafizhotun …”,
“Wanita-wanita yang menjaga hak-hak Allah yang Allah bebankan atas mereka serta wanita-wanita yang menjaga (dirinya) ketika suaminya tidak ada di sisinya”6.
Karenanya pula dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan sebaliknya. Imam Al-Hasan Al-Bashry -rahimahullah- berkata:
“Tidak halal bagi seorang muslim (untuk menikahi) al-musafahah7 dan dzati khadanin 8?9.
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
“Sesungguhnya Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama ‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah – Ta’ala-, ["Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali pezina laki-laki atau musyrik laki-laki"10]. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau bersabda, ["Jangan kamu nikahi dia"]11.
Demikian pula dibenci menikahi orang yang fasik atau ahli bid’ah, berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas.
(b). Subur lagi penyayang, karenanya dibenci menikah dengan lelaki atau wanita yang mandul. Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu berkata,”Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”, beliau menjawab, ["tidak boleh"]. Kemudian orang ini datang untuk kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ["Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat"]12.
An-Nasa`iy -rahimahullah- memberikan judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya, “Bab: Makruhnya menikahi orang yang mandul”.
(c). Hendaknya memilih wanita yang masih perawan. Hal ini berdasarkan Jabir  bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepadanya, “Wanita apa yang kamu nikahi?”, maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Tidakkah kamu menikahi wanita yang perawan?! yang kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu?!”13.
d. ???
3. Hendaknya wali dari seorang wanita menikahkan walinya dengan lelaki yang sebaya dengannya, maka janganlah dia menikahkan wanita yang masih muda dengan lelaki yang sudah berumur. Dari Buraidah ibnul Hushoib -radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, “Abu Bakr dan ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- pernah melamar Fathimah (anak Nabi), maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Sesungguhnya dia masih muda”.
Kemudian Fathimah dilamar oleh ‘Ali maka beliau (Nabi) menikahkannya”14.
4. Boleh bagi seorang lelaki untuk menawarkan putrinya atau saudarinya atau wanita yang ada di bawah perwaliannya kepada seorang lelaki yang sholih.
Akan datang keterangannya di awal bab setelah ini.
5. Hendaknya wali seorang wanita menikahkan wanita yang dia wakili dengan lelaki yang baik dan tampan, dan dia tidak menikahkannya dengan orang yang jelek kecuali dengan seizin wanita tersebut. Imam Ibnul Jauzy -rahimahullah- berkata,
“Disunnahkan bagi orang yang akan menikahkan putrinya untuk mencari pemuda yang indah rupanya, karena wanita juga menyenangi apa yang disenangi oleh lelaki (berupa keindahan wajahpent.)” 15.
Demikian pula dia jangan menikahkan putrinya kepada orang yang diduga kuat tidak akan memenuhi kewajibannya berupa memberi nafkah kepada keluarganya. Sebagaimana ketidaksetujuan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala Fathimah bintu Qois dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
“Adapun Mu’awiyah, maka dia adalah lelaki yang sangat miskin lagi tidak mempunyai harta sama sekali”.
Demikian halnya jika yang melamar anaknya adalah seorang yang dianggap tidak baik pergaulannya dalam berkeluarga, sebagaimana komentar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap Abu Jahm yang juga melamar Fathimah bintu Qois:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah orang yang sering memukuli istrinya”16.




A. Pengertian
Pinangan (meminang/melamar) atau khitbah dalam bahasa Arab, merupakan pintu gerbang menuju pernikahan. Khitbah menurut bahasa, adat dan syara, bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukaddimah (pendahuluan) bagi perkawinan dan pengantar kesana. Khitbah merupakan proses meminta persetujuan pihak wanita untuk menjadi istri kepada pihak lelaki atau permohonan laki-laki terhadap wanita untuk dijadikan bakal/calon istri.
Seluruh kitab/kamus membedakan antara kata-kata "khitbah" (melamar) dan"zawaj" (kawin/menikah), adat/kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan) dengan yang sudah menikah; dan syari'at pun membedakan secara jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari sekedar mengumumkan keinginan untuk menikah dengan wanita tertentu, sedangkan zawaj (pernikahan) merupakan aqad yang mengikat dan perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan akibat-akibat tertentu.
Pinangan yang kemudian berlanjut dangan “pertunangan” yang kita temukan dalam masyarakat saat ini hanyalah merupakan budaya atau tradisi saja yang intinya adalah khitbah itu sendiri, walaupun disertai dengan ritual-ritual seperti tukar cincin, selamatan dll. Ada satu hal penting yang perlu kita catat, anggapan masyarakat bahwa pertunangan itu adalah tanda pasti menuju pernikahan, hingga mereka mengira dengan melaksanakan ritual itu, mereka sudah menjadi mahram, adalah keliru. Pertunangan (khitbah) belum tentu berakhir dengan pernikahan. Oleh karenanya baik pihak laki-laki maupun wanita harus tetap menjaga batasan-batasan yang telah ditentukan oleh syariat.
Namun Masa khitbah bukan lagi saat untuk memilih. Mengkhitbah sudah jadi komitmen untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Jadi shalat istiharah sebaiknya dilakukan sebelum khitbahKhitbah dilaksanakan saat keyakinan sudah bulat, masing-masing keluarga juga sudah saling mengenal dan dekat, sehingga peluang untuk dibatalkan akan sangat kecil, kecuali ada takdir Allah yang menghendaki lain.
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:
?????????? ??????? ???? ?????? ??????? ?????????? ????????? ?????????? ???????????? ???? ??????? ???? ???????????? ???? ??????????????? ?????? ??????? ?????? ????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ???? ??????? ??????? ??????? ????? ???????????????? ??????? ????????? ????? ?????? ??????? ????? ???????? ????? ???????? ??????? ????? ???????? ??????????? ??????? ????????? ????????????? ??? ??????????
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rosulullah saw bersabda "………Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang pinangan saudaranya……" (Muttafaq 'alaih)
Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Selama akad nikah - dengan ijab dan kabul - ini belum terlaksana, maka perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat, syara', maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi mereka untuk berduaan.
B. Hukum Peminangan (Khitbah)
Memang terdapat dalam Alqur’an dan banyak hadis Nabi yang membicarakan tentang peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan sebagaimana perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam Alqur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama’ yang mewajibkannya.
Mayoritas ulama' mengatakan bahwa tunangan hukumnya mubah, sebab tunangan ibarat janji dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama dalam ikatan keluarga yang harmonis. Tunangan bukan hakekat dari perkawinan melainkan langkah awal menuju tali perkawinan. Namun sebagian ulama' cenderung bahwa tunangan itu hukumnya sunah dengan alasan akad nikah adalah akad luar biasa bukan seperti akad-akad yang lain sehingga sebelumnya disunahkan khitbah sebagai periode penyesuaian kedua mempelai dan masa persiapan untuk menuju mahligai rumah tanggapun akan lebih mantap.
C. Syarat-Syarat Khitbah
Membicarakan syarat pinangan tidak dapat di pisahkan dari pembicaraan tentang halangannya. Karena itu di sini dibicarakan dalam satu subpokok bahasan, agar di perole gambaran yang jelas. Pertunangan diperbolehkan oleh agama apabila terpenuhi syarat-syarat di bawah ini :
a) Tidak adanya penghalang antara kedua mempelai, yaitu tidak ada hubungan keluarga (mahram), tunggal susuan (rodhoah), mushoharoh, atau penghalang yang lain, sebab tunangan adalah langkah awal dari perkawinan maka disamakan hukumnya dengan akad perkawinan.
b) Tidak berstatus tunangan orang lain, seperti dalam hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam An-Nasai mengatakan :" Tidak boleh bagi seorang lelaki melamar tunangan orang lain sehingga ia menikahinya atau meninggalkannya "Hadits yang senada juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Muslim. Keharaman ini jika tidak mendapat izin dari pelamar pertama atau ada unsur penolakan dari pihak mempelai wanita, itu tadi adalah pendapat mayoritas ulama' (Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah), namun sebagian ulama' lain memperbolehkan khitbah tersebut apabila tidak ada jawaban yang jelas dari mempelai wanita.
Adapun cara menyampaikan ucapan peminangan terdapat dua cara :
a) Menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang dalam arti langsung dipahami atau tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan seperti ucapan : “saya berkeinginan untuk menikahimu”.
b) Menggunakan ucapan yang kurang jelas dan tidak terus terang (kinayah) yang berarti ucapan itu dapat mengandung arti bukan untuk peminangan, seperti ucapan : “tidak ada orang yang tidak senang kepadamu”.
Perempuan yang belum menikah atau sudah menikah dan telah habis masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran. Tidak boleh meminang seorang perempuan yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dinikahi; baik dengan menggunakan bahasa terus terang seperti : “Bila kamu dicerai suamimu saya akan menikahi kamu” atau dengan bahasa sindiran, seperti : “Jangan khawatir dicerai suamimu, saya yang akan melindungimu”.
Perempuan yang telah dicerai suaminya dan sedang menjalani iddah raj’i, sama keadaannya dengan perempuan yang punya suami dalam hal ketidakbolehannya untuk dipinang bak dengan bahasa terus terang atau bahasa sindiran. Alasannya, ialah bahwa perempuan dalam iddah talak raj’i statusnya sama dengan perempuan yang sedang terikat dalam perkawinan. Sedangkan perempuan yang sedang menjalani iddah karena kematian suaminya, tidak boleh dipinang dengan menggunakan bahasa terus terang, namun boleh meminangnya dengan bahasa sindiran
Perempuan yang sedang menjalani iddah dari talak ba’in dalam bentuk fasakh atau talak tiga tidak boleh dipinang secara terus terang, namun dapat dilakukan dengan cara sindiran, sebagaimana yang berlaku pada perempuan yang kematian suami. Kebolehan ini karena perempuan tersebut telah putus hubungannya dengan bekas suaminya.
D. Melihat Wanita Yang Dipinang
Waktu berlangsungnya peminangan, laki-laki yang melakukan peminangan diperbolehkan melihat perempuan yang dipinangnya. Meskipun menurut asalnya seorang laki-laki haram melihat kepada seorang perempuan. Kebolehan melihat ini didasarkan kepada hadis Nabi saw dari jabir:
?????????? ??????? ???? ????????? ?????????? ?????? ?????????? ???? ??????? ?????????? ????????? ???? ????????? ???? ??????? ???? ??????????? ???? ??????? ???? ?????? ??????????? ???? ?????? ???? ??????? ???? ??????? ????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ????? ?????? ?????????? ??????????? ?????? ?????????? ???? ???????? ??????? ????? ??? ????????? ????? ?????????? ???????????? ????? ?????????? ????????? ???? ????? ???????? ???????? ?????????? ????? ?????? ????????? ?????? ???????? ??????? ?????? ??? ???????? ????? ?????????? ????????????????
Dari Mu’adz bin Jabir, Rosulullah saw bersabda: “……Bila seseorang diantara kamu meminang perempuan dan ia mampu melihatnya yang akan mendorong untuk menikahnya, maka lakukanlah…….”
Banyak hadis Nabi yang berkenaan dengan melihat perempuan yang dipinang, baik menggunakan kalimat suruhan, maupun dengan menggunakan ungkapan “tidak mengapa”. Namun tidak ditemukan secara langsung ulama’ mewajibkannya. Bahkan juga tidak dalam literature ulama’ Dzahiri yang biasanya memahami perintah itu sebagai suatu kewajiban. Ulama’ jumhur menetapkan hukumnya adalah boleh, tidak sunnah apalagi menetapkan hokum wajib.
Batas yang boleh dilihat
Meskipun hadis Nabi menetapkan boleh melihat perempuan yang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh dilihat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama’. Alasan disamakan dengan muka dan telapak tangan saja, karena dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannya dan dengan melihat telapak tangannya dapat diketahui kesuburan tangannya.
Ulama’ lain seperti Al awza’iy berpendapat boleh melihat bagian-bagian yang berdaging. Daud Dzahiri berpendapat boleh melihat semua badan, karena hadis Nabi yang membolehkan melihat waktu meminang itu tidak menyebutkan batas-batasnya. Hal tersebut mengandung arti “boleh” melihat bagian manapun tubuh seorang perempuan. Walaupun yang demikian adalah aurat. Namun telah dikecualikan oleh Nabi untuk kepentingan peminangan.
Adapun untuk melihat kepada perempuan itu adalah saat menjelang menyapaikan pinangan bukan setelahnya, karena bila ia tidak suka setelah melihat ia akan dapat meninggalkannya tanpa menyakitinya.
E. Menikahi Wanita Tunangan rang Lain
Di atas tertera bahwa melamar wanita tunangan orang lain dilarang oleh agama, hal itu demi untuk menjaga hak si lelaki pelamar pertama dan juga upaya menghindari timbulnya sengketa umat manusia. Akan tetapi sering terjadi pula seorang lelaki yang nekat melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain, sebab kondisinya yang kuat atau karena faktor lain yang mendukung.
Keadaan keadaan perempuan yang dipinang dapat dibagi dalam tiga hal :
a) Perempuan tersebut menyukai laki-laki yang meminangnya dan menyetujui pinangan itu secara jelas memberi izin kepada walinya untuk menerima pinangan itu.
b) Perempuan tersebut tidak senang dengan laki-laki yang meminang dan secara terus terang menyatakan ketidaksetujuannya baik dengan ucapan atau dengan tindakan atau isyarat.
c) Perempuan itu tidak memberikan jawaban yang jelas, namun ada isyarat dia menyenangi peminangan itu.
Perempuan dalam keadaan yang pertama tersebut tidak boleh dipinang oleh seseorang. Sedangkan dalam keadaan kedua boleh dipinang karena pinangan pertama jelas ditolak. Adapun perempuan dalam keadaan yang ketiga menurut sebagian ulama’ diantaranya Ahmad bin Hanbal juga tidak boleh dipinang sama keadaannya dengan perempuan dalam keadaan pertama. Namun, sebagian ulama’ berpendapat bahwa tidak haram meminang perempuan yang tidak secara jelas menerima pinangan pertama.
Tentang hukum pernikahan yang telah (terlanjur) dilaksanakan (melangsungkan akad pernikahan dengan wanita tunangan orang lain – dalam perbedaan pendapat ulama’-). Menurut Ahmad bin Hanbal dan Imam Asy Syafi’ie serta Imam Abu Hanifah pernikahan tersebut adalah sah dan tidak dapat dibatalkan. Menurut ulama’ Dzahiry pernikahan tersebut tidak sah dengan arti harus dibatalkan. Sedangkan pendapat ketiga dikalangan Malikiyah berpendapat, bila telah berlangsung hubungan kelamin dalam pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut tidak dibatalkan sedangkan bila belum terjadi hubungan kelamin dalam pernikahannya maka pernikahan tersebut harus dibatalkan.
F. Pembatalan Tali Pertunangan
Memang sering kali tali pertunangan putus di tengah jalan tanpa membuahkan hasil sampai ke jenjang perkawinan, mungkin sebab terlalu lama menunggu, kondisi yang kurang mendukung atau karena kemelut badai yang mengguncang eratnya tali pertunangan hingga pudar.Ulama' berpendapat, boleh saja membatalkan tali pertunangan, namun itu adalah makruh, sebab pertunangan ibarat ikatan janji setia dari kedua mempelai untuk menjalin hidup bersama membina rumah tangga bahagia, sedangkan pembatalan pertunangan ini adalah sebuah pengkhianatan ikatan janji setia.Belum juga imbas dari pembatalan tali pertunangan ini, sudah tidak asing lagi, tunangan yang batal adalah ajang percorengan muka, kebahagiaan yang indah, kenangan manis dan canda ria pun ikut hangus terbakar, kemelut mengguncang. Lalu bagaimana sikap ulama' menanggapi masalah ini?
Sekian, semoga tulisan ini bermanfaat dan bisa dibuat bahan acuan dan pertimbangan bagi mereka yang akan menjalin rumah tangga bahagia dan semoga Allah SWT. Selalu memberikan yang terbaik bagi kita semua Amin. Wallahu a'lamu bisshowab.
Pertunangan Dalam Islamhttp://images.multiply.com/common/smiles/smile.png
Hubungan seksual dengan seseorang apalagi dengan tunangannya merupakan hal yang lumrah, meski pun hal tersebut dapat menyebabkan penyakit-prnyakit seksual, hamil diluar nikah, keluarga dengan satu orang tua (singgle parent) dan perilaku seksual yang tidak wajar yang sudah lazim kita lihat sekarang. 
Sebagaimana pemahaman yang salah di masyarakat saat ini, pertunangan hanyalah sekedar “hubungan percobaan” antara pasangan laki-laki dan perempuan sebelum menikah atau sekedar hubungan cinta belaka atau hubungan sesaat, kadang putus dan kadang bersatu lagi. Semuanya hanyalah menjadi bagian “hubungan percobaan” itu, tanpa ada kesepakatan apapun yang dilanggar.
 Pertunangan berasal dari bahasa Melayu yang memiliki kesamaan arti dengan khitbah dalam Bahasa Arab atau dikenal dengan istilah meminang. Pertunangan atau khitbah atau pinangan, yaitu satu ikatan perjanjian yang berlaku diantara pihak lelaki dan pihak perempuan untuk mendirikan rumah tangga. Khitbah dimaksudkan untuk menutup kesempatan bagi pria lain meminang perempuan yang telah dipinang. Rasulullah SAW bersabda, “Tidak halal bagi kamu penjualan di atas penjualan orang lain, dan tidak halal bagimu pertunangan di atas pertunangan orang lain”.
Sejarah pertunangan dilitirekan oleh Yunani. Sebelum menikah, masyarakat Yunani biasa melakukan pertunangan. Dalam hal ini, seorang pria meminta wanita yang dicintainya pada ayah sang wanita untuk dinikahi. Ketika kedua belah pihak menyepakati pernikahan itu, dipanggilah pendeta untuk memberkati cincin pertunangan dan menyematkannya di jari manis kiri masing-masing pasangan. Kemudian para tamu menyambut kebahagiaan tersebut dengan mengucapkan “Kala stephand” (mahkota baik, semoga pernikahannya baik). Lucunya, kebiasaan ini tak dilakukan lagi di Athena, tapi justru berkembang di luar Athena.Dalam Islam, pertunangan pertama kali dilakukan pada masa jahiliyah. Imam Bukhari meriwayatkan melalui Aisyah ra., bahwa pada masa jahiliyah dikenal empat macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, lalu membayar mahar dan menikah. Kedua, seorang suami memerintahkan istrinya untuk menikah dengan orang lain guna memperoleh keturunan yang baik. Apabila telah hamil, ia kembali pada sang suami untuk digauli lagi. Ketiga, sekelompok laki-laki kurang dari 10 orang menggauli satu wanita. Bila wanita itu hamil dan melahirkan, ia memanggil sekelompok laki-laki tadi dan menunjuk satu diantara mereka untuk memberi nama pada sang anak. Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh seorang pelacur. Sang pelacur memasang tanda di depan pintu rumah mereka dan bercampur dengan siapapun.
Setelah Islam datang, cara-cara pernikahan yang kedua, ketiga, dan keempat tersebut dilarang. Cara pernikahan pertamalah yang dibolehkan dalam Islam. Di sinilah mulai dilestarikan budaya pertunangan atau khitbah.
Meski tidak diatur secara khusus dalam Islam, namun terdapat rujukan tentang pertunangan dalam Al Qur’an dan hadits. Karenanya, perhelatan pertunangan lebih banyak mengikuti adat yang berlaku. Tiap daerah memiliki perbedaan dalam memaknai dan menyelenggarakan pertunangan.
Adat pertunangan tersebut boleh diikuti selama tidak bertentangan dengan Islam. Senada dengan hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad; Rasulullah SAW bersabda, “Sesuatu perkara atau perbuatan yang dianggap baik oleh masyarakat Islam adalah baik di sisi Allah”.
Tujuan Pertunangan
Pertunangan dimaksudkan untuk membuka ruang antar pasangan untuk saling mengenal sebelum menikah, baik dari segi lahiriah maupun batiniah. Dari mughirah bin Syu’bah berkata, “Aku pernah melamar seorang wanita. Lalu Nabi SAW bersabda, “Lihatlah ia, karena yang demikian itu akan melanggengkan kasih sayang antara kalian berdua” (HR. Nasa’I, Ibnu Majah dan Tirmidzi). Dalam hal ini jumhur ulama membatasi anggota tubuh yang boleh dilihat, yaitu wajah dan kedua tangan.
Hanya Sebatas Perjanjian
Pertunangan hanya sebatas perjanjian untuk mengadakan pernikahan dan tidak mewujudkan pernikahan tersebut. Artinya, masing-masing pihak berhak untuk membatalkan. Namun bila tidak ada alasan yang tepat, maka kedua belah pihak dilarang membatalkannya. “Wahai orang-orang yang beriman, tunaikan serta sempurnakan perjanjian-perjanjian kamu” (QS. 5: 1). Dalam hal ini, pihak yang diputuskan dapat meminta ganti rugi pada pihak yang memutuskan.
Adab Pertunangan
* Setiap pertemuan dengan calon suami, hendaklah calon istri ditemani oleh mahram
* Hindari ber-khalwat (berdua-duaan)
* Pembicaraan yang diutarakan sebisa mungkin terhindar dari nafsu dan syahwat
* Dalam berpenampilan, haruslah menutup aurat sebagaimana yang telah digariskan Islam.
Masa Pertunangan
Pada hakikatnya Islam mewajibkan untuk mempersingkat masa pertunangan dan mempercepat pernikahan. Lamanya masa pertunangan dikhawatirkan akan:
* Memutuskan hubungan pertunangan, karena peluang untuk menghitung-hitung kekurangan calon suami/istri semakin lebar.
* Memberi kesempatan pada orang lain untuk menyukai salah satu calon suami/istri.
* Menambah daftar maksiat yang dibuat, karena sulitnya menghindar diri dari perbuatan dosa.
* Mengganggu prestasi studi dan kerja, karena diusik gejolak rindu.
 Hukum Melamar Perempuan Yang Sudah Dilamar
 (Hukum Melamar Wanita dalam Masa Iddah)
Tafsir Ayat : 235

Tafsir Ayat : 235
Sumber :
1. Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah
2. Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
3. Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di)

?????????? ??????????? ????? ????????? ????? ??????? ?????? ?????????? ????? ?????? ??????? ?????????? ???? ????????????? ??????????????? ?????????? ?????????? ??????????? ????? ?????? ?????? ??????????? ?????????? ???????????? ???????????? ??????????????? ??? ???????????? ??????????????? ?????? ???????????? ????? ????????? ??????????? ???????? ????? ?????? ????? ???????? ????????



Meskipun Islam mengajarkan bahwa memenuhi janji adalah suatu kewajiban, dalam masalah janji akan menikah ini kadang-kadang terjadi hal-hal yang dapat menjadi alasan yang sah menurut Islam untuk memutuskan hubungan petunangan. Misalnya, diketahui adanya cacat fisik atau mental pada salah satu pihak beberapa waktu setelah pertunangan, yang dirasakan akan mengganggu tercapainya tujuan itu tidak dipandang melanggar kewajiban termasuk hak khiyar.
Berbeda halnya pemutusan pertunangan tanpa alasan yang sah menurut ajaran Islam. Misalnya, karena ingin mendapatkan yang lebih baik dari segi keduniaan. Ditinjau dari segi nilai moral Islam, pemutusan pertunangan seperti itu sama sekali tidak dapat dibenarkan.
Masalah yang sering muncul adalah pada masa peminangan, pihak laki-laki memberikan hadiah-hadiah pertunangan atau – mungkin – mahar telah dibayarkan kepada pihak perempuan sebelum akad nikah dilaksanakan, bagaimana nasib hadiah-hadiah atau mahar tersebut apabila akhirnya pertunangan terputus? Apakah dikembalikan pada pihak laki-laki atau tetap menjadi hak sepenuhnya calon istri yang urung tersebut? Mahar yang dibayarkan sebelum akad nikah (dalam masa tunangan) menjadi hak laki-laki, kecuali apabila direlakan, sebab kewajiban suami membayar maskawin adalah setelah terjadi ikatan pernikahan.
Sedangkan mengenai hadiah-hadiah pertunangan, seperti tanda pengokoh (peningset atau pikukuh di jawa) para ulama’ berbeda pendapat :
a. Sebagian ulama' (Syafi’iyah) mengatakan bahwa kedua belah pihak boleh menuntut kembali atas pemberiannya, baik pembatalan tunangan tersebut bersumber dari pihak mempelai pria maupun dari mempelai wanita, dan jika barang pemberian tersebut telah rusak atau berubah menjadi barang lain maka wajib mengembalikan qimahnya.
b. Madzhab Hanafiah mengatakan jika hadiah itu masih utuh dan tidak ada perubahan, maka kedua belah pihak boleh menuntutnya kembali, namun bila terjadi perubahan atau rusak, maka kedua belah pihak tidak boleh saling menuntut kembali atas pemberiannya itu.
c. Berbeda lagi dengan pendapat Malikiah, menurutnya pihak yang menghendaki pembatalan tali tunangan tidak berhak apa-apa atas pemberiannya, dan harus mengembalikan hadiah-hadiah yang pernah diterima dari pihak lain baik barangnya masih utuh ataupun telah rusak, atau berubah menjadi barang lain. Penyimpangan dari ketentuan tersebut hanya dibanarkan apabila ada syarat lain antara keduabelah pihak, atau apabila ‘urf (adat kebiasaan) tempat piha-pihak bersangkutan mengatakan lain.
G. Akibat Hukum Pinangan
Pada prinsipnya apabila peminangan telah di lakukan oleh seorang laki-laki terhadap seorang wanita, belum berakibat hukum. Kompilasi menegaskan :
1. pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
2. Kebebasan memutuskan hubungan pinangan di lakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saaling menghargai.
Peminangan itu adalah suatu usaha yang dilakukan mendahului pernikahan. Namun peminangan itu bukan suatu perjanjian yang mengikat untuk dipatuhi. Laki-laki yang meminang atau pihak yang dipinang dalam masa menjelang pernikahan dapat saja membatalkan pinangan tersebut, meskipun dulunya ia menerima. Meskipun demikian, pemutusan peminangan tersebut sebaiknya dilakukan secara baik dan tidak menyakiti pihak manapun. Pemberian yang dilakukan dalam acara pinangan tersebut tidak mempunyai kaitan apapun dengan mahar yang diberikan kemudian dalam pernikahan. Dengan demikian, pemberian tersebut dapat diambil kembali bila peminangan itu tidak berlanjut dengan pernikahan.
Hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang selama masa antara peminangan dan perkawinan adalah sebagaimana hubungan laki-laki dan perempuan asing (ajnabi dan ajnabiyah). Oleh karena itu, belum berlaku hak dan kewajiban (suami-istri) diantara keduanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pasal 13 sendiri dibahas tentang akibat hukum suatu peminangan. “hukum” yang dimaksud dalam pasal 13 ayat 1 adalah hukum atau hubungan antara laki-laki yang meminang dengan perempuan yang dipinang adalah “orang asing” dan tidak menimbulkan akibat hukum yang mengikat. Namun, di dalamnya terdapat hukum sebagaimana yang tertulis dalam pasal 12 (peraturan pinangan) ayat 3 yaitu tidak boleh meminang wanita yang masih dalam pinangan orang lain, selama pinangan tersebut belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita. Disisis lain, dalam pasal 12 poin 1 yang berbunyi “peminangan dapat dilakukan terhadap seorang yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.” Dalam pasal ini tidak disebutkan bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya namun masih dalam masa iddah, boleh dilamar namun harus dengan cara kinayah (sindiran) tidak boleh menggunakan cara yangshorih (jelas). Begitu juga dengan seorang wanita yang menjalani masa iddah dari talaq ba’in dalam bentuk fasakh atau talaq tiga boleh dipinang namun dengan cara sindiran.
Begitulah tunangan yang membudaya saat ini, ada yang membuahkan hasil positif sebagi langkah awal membina rumah tangga, dan juga banyak yang kandas di tengah jalan, mungkin karena belum ada kesiapan atau sebab beberapa pertimbangan yang wajib dibuat acuan malah dilupakan.
Dengan demikian cenderung perlu adanya tali pertunangan sebagai langkah awal menuju perkawinan, namun harus memperhatikan hal-hal yang perlu dipertimbangkan diantaranya sebagai berikut:
1) Punya rencana kapan penikahan akan diadakan, jangan sampai jarak antara tunangan dan perkawinan terlalu lama.
2) Sudah yakin siap mengikatkan diri pada satu orang.
3) Menikah dengan motivasi yang positif.
4) Kesiapan kedua belah pihak menhadapi limpahan tanggung jawab.
5) Status pendidikan dan penghasilan pasangan.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Ahmad Rofiq, M.A. Hukum islam di indonesia cetakan pertama PT rajawali pers.
Sabiq, Sayid. (1980). Fiqih Sunnah, Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Cetakan Pertama. PT Al Ma’arif. Bandung
Undang-undang perkawinan Indonesia 2007 (Kompilasi Hukum Islam). Cetakan I, WIPRESS
Azhar Basyir, Ahmad. (1999). Hukum Perkawinan Islam. Cet. Ke-9. UII Press. Yogyakarta
Bagi sebagian orang Islam, pertunangan ini dianggap sama dengan khitbah, atau lamaran. Khitbah atau lamaran sendiri artinya adalah permintaan dari pihak lelaki kepada wali pihak wanita untuk menikahi si wanita tersebut. Memang perbedaan antara tunangan dan lamaran bagi sementara orang sangat tipis, sebab keduanya adalah sama-sama salah satu tahap pra nikah. Tetapi kalau dicermati ada perbedaan di antara keduanya yang cukup signifikan. Berikut ini adalah beberapa fakta perbedaan antara tunangan dan khitbah.
Pertama; Dalam hukum Islam, lamaran itu disampaikan kepada wali calon mempelai wanita, khususnya jika ia masih gadis. Sedangkan dalam tunangan tidak ada aturan agar tunangan itu disampaikan kepada walinya. Pernyataan tunangan itu bisa disampaikan kepada wali, ibu, kakak perempuan, atau bahkan calon mempelai itu sendiri.
Kedua, dalam ajaran agama Islam, jika lamaran itu diterima maka proses pernikahan akan diusahakan bisa dilaksanakan secepatnya. Soal rentang waktu memang relatif, tergantung kesiapan masing-masing individu. Tetapi pada umumnya tidak sampai hitungan tahun sudah kelar. Persoalan yang biasa cukup menghambat adalah persiapan resepsi yang membutuhkan dana cukup besar. Sedangkan dalam tunangan, pernikahan itu masih cukup jauh jaraknya, bahkan bisa bertahun-tahun.
Ketiga, orang yang sudah melamar seorang wanita tetap akan menjaga diri dalam bergaul dengan calon pengantin wanitanya. Karena keduanya belum terikat pernikahan maka keduanya masih haram untuk bertemu, berdua-duaan di tempat yang sepi.
Sementara kebiasaan yang terjadi pada tunangan, orang yang sudah saling bertunangan akan semakin mengeratkan hubungan mereka. Mereka akan semakin sering bertemu, kirim kabar, atau yang semisalnya. Kadang-kadang dalam beberapa hal sudah saling menanggung urusan tunangannya, seperti dalam jual beli dan hutang piiutang. Bahkan hal yang dilarang dalam masa pasca lamaran bisa dianggap boleh oleh pasangan yang telah bertunangan. Hingga tak jarang di antara pasangan yang bertunangan ini ada yang telah melakukan pola kehidupan layaknya suami isteri. Hal ini sudah tidak mengejutkan lagi dalam kehidupan masyarakat saat ini. Mereka berani melakukan demikian karena merasa sudah pasti akan dilakukannya ikatan pernikahan.
Keempat, lamaran didasari tekad yang kuat untuk mengikat tali pernikahan. Untuk menambah kuatnya hasrat untuk menikah ini disyari’atkan untuk nadhar (melihat) calon mempelai sebelum adanya lamaran. Dasarnya adalah hadis nabi
????? ?????? ?????????? ??????????? ?????? ?????????? ???? ???????? ????? ??? ????????? ????? ?????????? ????????????
Apabila salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, jika mampu untuk melihatnya agar mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah (HR Abu Dawud)
Adanya syari’at untuk melihat calon pasangan sebelum melamar ini karena di dalam lamaran kedua belah pihak belum akrab. Tetapi ini pun bukan sebuah persyaratan yang harus dilalui. Andaikata hanya dengan melihat foto, atau mendapat cerita dari orang kepercayaannya sudah cukup, maka dengan cara demikian pun boleh saja. Bahkan tidak melihat dan tidak mengetahui sama sekali calonnya, karena begitu tinggi tawakkalnya, itupun boleh.
Sementara pertunangan tidak akan ada ajaran nadhar, sebab sejak bertahun-tahun lamanya sudah saling melihat, saling menyapa dan bergaul, bahkan mungkin lebih dari itu. Hingga tunangan bisa dikatakan hanyalah sekedar meningkatkan intensitas “hubungan percobaan” antara pasangan laki-laki dan perempuan sebelum menikah atau sekedar hubungan cinta belaka atau hubungan sesaat. Semuanya hanyalah menjadi bagian “hubungan percobaan” itu, tanpa ada kesepakatan apapun yang dilanggar.
Antara lamaran dan tunangan memang tipis, letak perbedaan yang paling mendasar antara keduanya adalah pada landasan ideologis. Lamaran dilandasi oleh semangat menjalankan syari’at islam, sementara tunangan hanya dilandasi oleh rasa suka dan cinta belaka. Khitbah diatur dengan aturan Islam, sementara tunangan diatur dengan aturan adat dan tradisi belaka. Khitbah terikat dengan moral islam sementara tunangan tidak ada yang mengikatnya. Khitbah lahir dari peradaban islam, sementara tunangan lahir dari peradaban Barat.
Sayangnya banyak kaum muslimin saat ini yang tidak peduli dengan peristilahan yang berkembang di masyarakat. Padahal bermula dari istilah itulah, kemudian tradisi-tradisi yang lain pun akan mengikuti. Kita saksikan perbedaan lagi dalam pelaksanaan lamaran yang islami, biasanya tidak ada perayaan besar-besaran. Kenapa demikian, karena masih disadari bahwa proses ini bisa berlanjut dan bisa pula batal. Tetapi dalam tunangan sebaliknya, justru dilakukan pesta besar, karena merupakan perayaan kesuksesan atas fase pertama, yakni pacaran. Karena dianggap sebagai sebuah kesuksesan, maka selayaknya diadakan pesta perayaan.
Selain perayaan yang ditandai dengan makan-makan, kadang-kadang juga terdapat acara ritual yang diimpor dari budaya Barat seperti tukar cincin dan budaya non Islam lainnya (misalkan memakai pakaian dalam warna tertentu). Dalam Islam tidak dikenal tradisi tukar cincin, lalu saling memakai cincin tanda perkawinan. Jangankan memakai cincin perkawinan, memakai emas saja bagi kaum muslimin dilarang. Rasulullah saw bersabda
???? ????? ?????? ????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ????? ????? ??????? ????? ??????? ??????? ????????? ???????? ?????????? ??????????? ??????????? ????? ??????????
Dari Abu Musa, bahwa Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Allah swt menghalalkan bagi wanita umatku emas dan sutera, tetapi mengharamkan bagi laki-laki umatku (HR an-Nasa’i)
Memakai cincin emas bagi laki-laki muslim adalah terlarang. Melakukan tukar cincin juga terlarang, sebab hal tersebut berarti meniru-niru tradisi non muslim. Rasulullah saw bersabda
???? ????? ?????? ????? ????? ??????? ??????? ??? ???? ???? ???? ???? ????????? ???????? ?????? ????????
Dari Ibnu Umar ra, ia berkata; Rasulullah saw bersabda; Barangsiapa meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk ke dalam golongan mereka (HR Abu Dawud)
Islam tidak pernah mengajarkan pola hubungan seperti tunangan itu. Khitbah dalam islam senantiasa diikat dengan nilai dan moral Islam. Segala bentuk hubungan antara calon lelaki dan calon wanita yang sudah melakukan khitbah adalah sama dengan hubungan laki-laki dan wanita yang tidak terikat khitbah. Hal ini haruslah menjadi perhatian kaum muslimin, agar tidak kehilangan jati diri dan budayanya. Allahu a’lam bish-shawab
Pertunangan adalah istilah yang digunakan dalam masyarakat yang berarti bahwa seseorang telah terikat janji dengan orang lain dengan maksud untuk menikah nantinya. Di negara Barat, “tunangan” atau pertunangan ini dapat berlangsung selama bertahun tahun tanpa ada kepastian untuk menikah dan lebih jauh lagi tanpa ada kesepakatan apa pun. Selama tunangan, pasangan tersebut boleh bersenang-senang termasuk melakukan hubungan seksual. Hal ini sudah tidak mengejutkan lagi dalam kehidupan masyarakat saat ini.
Sayangnya banyak kaum muslimin saat ini yang melakukan hal tersebut. Ketika acara pertunangan, pesta besar pun diadakan, dimana terdapat acara ritual yang ditiru dari budaya Barat seperti tukar cincin dan budaya non Islam lainnya (misalkan memakai pakaian dalam warna tertentu).
Dalam pesta-pesta seperti ini melibatkan percampuran laki-laki dan perempuan serta aktivitas atau perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Islam. Setelah itu pasangan tersebut mempunyai hubungan khusus, baik dengan atau tanpa hubungan badan, sebelum menikah. Apalagi mereka berhubungan melalui surat , pembicaraan lewat telefon ataupun saling bertemu, dan hal ini diperbolehkan karena mereka telah bertunangan.
Dalam Islam hubungan seperti ini tidak ada. Satu-satunya cara agar laki-laki dan perempuan dapat mempunyai hubungan yang khusus baik secara emosional maupun fisik adalah melalui pernikahan.
Definisi “pertunangan“ dalam Islam adalah kesepakatan pribadi dengan maksud untuk menikah antara laki-laki muslim yang sesuai atau pantas dengan perempuan muslim melalui walinya, yaitu wali Amr.Penjelasan hal ini yaitu:
1.  Kesepakatan pribadi maksudnya perjanjian rahasia antara keduanya.
2. Laki-laki muslim yang pantas maksudnya adalah dia harus seorang muslim, baligh, dan bijaksana.
3. Perempuan yang pantas maksudnya adalah dia harus seorang muslim, atau perempuan ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani).
Dalam memilih pasangan wanita, perlu bagi kita untuk mengingat hadits Rasulullah saw. Abu Hurairoh menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
”wanita dinikahi karena empat hal yaitu karena kekayaannya, keluarganya, kecantikannya dan agamanya. Nikahilah wanita karena agamanya karena jika tidak kamu akan menjadi orang yang merugi.”
Hadits ini mengingatkan kita pada semua yang sudah terjebak dalam kehidupan non Islam, dimana sekedar mencari kesenangan materi dari pasangannya. Akhirnya pertunangan dalam Islam haruslah tetap terjaga kerahasiaannya dan jika hubungan keduanya terputus maka keduanya dilarang untuk menceritakan apa yang telah mereka bicarakan atau yang telah mereka lihat dari keduanya.
Dalam Islam pertunangan bisa berlanjut pada pernikahan dan juga bisa tidak tergantung pada keduanya. Allah SWT telah menciptakan manusia dengan berbagai naluri yang membutuhkan pemenuhan, dan Allah juga memberikan kita solusi untuk memenuhinya. Diantara naluri-naluri manusia, secara fitroh manusia mencari pasangan hidup dan untuk itu kita memenuhi naluri tersebut melalui jalan pernikahan saja. Setiap muslim harus ingat bahwa kita semua adalah hamba Allah swt dan bukan menjadi budak manusia atau budak nafsu.
Cara pertunangan dengan gaya Barat yang buruk ini tidak boleh kita terapkan dalam kehidupan kita, karena bertolak pada firman Allah SWT :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia telah menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram padanya, dan dijadikannya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda pada kaum yang berfikir”. (QS.30: 21).



Pada suatu hari, ada kejadian yang menyebutkan bahwa salah seorang ustadz yang juga tokoh masyarakat di ibu kota, didatangi oleh seorang pemuda dengan maksud untuk melamar anak perempuannya yang belum menikah, ustadz tersebut menjawab:  “Anak saya sudah ada yang melamar.”

Apakah jawaban tersebut menunjukkan bahwa seorang perempuan yang sudah dilamar oleh laki-laki, baik perempuan tersebut menerima, menolak, atau belum memberikan jawaban atas lamaran tersebut, pasti tidak boleh bagi laki-laki lain untuk melamarnya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu bahwa para ulama membagi perempuan yang telah dilamar seorang laki-laki, menjadi tiga keadaan :


Keadaan Pertama :
Perempuan tersebut sudah dilamar oleh laki-laki lain dan telah menerima lamarannya, maka tidak dibenarkan laki-laki lain datang untuk melamarnya, sampai laki-laki yang pertama membatalkan lamarannya atau mengijinkan orang lain untuk melamarnya, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim,Kairo, Dar al Bayan, 1407/1987,  jilid 3, juz 9 : 197, begitu juga oleh Ibnu Qudamah, di dalam Al-Mughni, 10/ 567 .
Dalilnya adalah hadits Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
??? ???????? ????????? ????? ???????? ??????? ????? ??????? ????? ?????? ???????
Janganlah meminang wanita yang telah dipinang saudaranya, dan janganlah menawar barang yang telah ditawar saudaranya.” (HR Muslim, no : 2519 )
Di dalam riwayat Ibnu Umar ra, bahwasanya ia berkata :
????? ?????????? ?????? ??????? ???????? ????????? ???? ??????? ?????????? ????? ?????? ?????? ????? ???????? ????????? ????? ???????? ??????? ?????? ???????? ?????????? ???????? ???? ???????? ???? ??????????
“ Nabi Muhammad saw telah melarang sebagian kalian untuk berjual beli atas jual beli saudaranya. Dan janganlah seseorang meminang atas pinangan yang lain hingga peminang sebelumnya  meninggalkannya, atau ia telah diijinkan peminang sebelumnya.” ( HR Bukhari, no : 4746 )
Hanya saja, para ulama berbeda di dalam menafsirkan larangan dalam hadits di atas, sebagian dari mereka mengatakan bahwa larangan tersebut menunjukkan keharaman, sedang sebagian yang lain  berpendapat bahwa larangan tersebut menunjukkan makruh bukan haram. Bahkan Ibnu Qasim dari madzhab Malikiyah mengatakan: “Maksud dari larangan hadits di atas, yaitu jika orang yang shalih melamar seorang perempuan, maka tidak boleh laki-laki shalih yang lain melamarnya juga. Adapun jika pelamar yang pertama bukan laki-laki yang shalih (orang fasik), maka dibolehkan bagi laki-laki shalih untuk melamar perempuan tersebut.” (Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, Beirut, Dar al Kutub al-Ilmiyah, 1988, cet ke – 10 , juz :  2 /3 )
Apa hikmah di balik pelarangan tersebut? Hikmahnya adalah supaya pelamar pertama tidak kecewa, karena lamarannya yang sudah menerimanya kok tiba-tiba membatalkannya hanya karena datang laki-laki lain, dan ini akan berpotensi terjadinya permusuhan, kebencian, dan dendam antara satu dengan yang lain.
Bagaimana hukumnya jika laki-laki kedua bersikeras untuk melamarnya dan menikahinya ?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini :
Pendapat Pertama menyatakan bahwa laki-laki tersebut telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi status pernikahan antara keduanya tetap sah dan tidak boleh dibatalkan. Ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa penikahan keduanya harus dibatalkan. Ini adalah pendapat Dawud dari madzhab Zhahiriyah.
Pendapat Ketiga menyatakan jika keduanya belum melakukan hubungan seksual , maka pernikahannya dibatalkan, tetapi jika sudah melakukan hubungan seksual, maka tidak dibatalkan. Ini adalah pendapat sebagian pengikut Imam Malik.
Adapun Imam Malik sendiri mempunyai dua riwayat, yang satu menyatakan batal, sedang riwayat yang lain menyatakan tidak batal. .  ( Ibnu Rusydi, Bidayah al Mujtahid, juz :  2 /3 )

Keadaan Kedua :
Perempuan tersebut sudah dilamar laki-laki lain, tetapi perempuan tersebut  menolak lamaran itu atau belum memberikan jawaban. Di dalam mazhab Imam Syafi’i ada dua pendapat tentang masalah ini, yang paling benar dari dua pendapat tersebut adalah hukumnya boleh. ( Al Khatib As Syarbini, Mughni al Muhtaj, Beirut, dar al Kutub al Ilmiyah, 1994, Cet ke – 1, Juz : 4/ 222 )
Dalilnya adalah hadist Fatimah binti Qais  yang telah dicerai suaminya Abu Amru bin Hafsh tiga kali, kemudian beliau datang kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengadu :
??????? ???????? ???????? ???????? ???? ????? ??????????? ???? ????? ????????? ??????? ?????? ?????????? ??????? ??????? ??????? ?????? ??????? ???????? ????????? ?????? ????? ?????? ????? ?????? ??????? ???? ????????? ???????? ??????????? ??????????? ??? ????? ???? ???????? ????????? ???? ?????? ???????????? ????? ????? ???????? ????????? ???????????? ???????? ??????? ????? ??????? ?????????????
Dia (Fathimah binti Qais) berkata: “ Setelah masa iddahku selesai, kuberitahukan hal itu kepada beliau( Rasulullah saw ) bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Al Jahm telah melamarku, lantas Rasulullah saw bersabda: “Adapun Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah meninggalkan tongkatnya dari lehernya (suka memukul ), sedangkan Mu’awiyah adalah orang yang miskin, tidak memiliki harta, karena itu nikahlah dengan Usamah bin Zaid.” Namun saya tidak menyukainya, beliau tetap bersabda: “Nikahlah dengan Usamah.” Lalu saya menikah dengan Usamah, maka Allah telah memberikan limpahan kebaikan padanya, sehingga aku meras bahagia hidup dengannya. ( HR Muslim, no : 2709 )
Berkata Imam Syafi’i menerangkan hadits di atas :
??? ?????????? ????????? ??????? ??????? ??? ??????? ???? ???? ????? ????? ?????? ????????????? ?????????? ????? ??????? ??? ????? ??????? ???????? ????? ???????? ??????????? ?????? ???????? ???????? ??? ??????????? ????? ???????? ????????? ??? ?????????? ???? ???????? ?? ??????? ????????? ??????????? ??? ????? ??? ?????? ????????????? ?? ???????? ???? ??? ???? ?? ??????????? ??? ?????????? ??? ??????????? ????? ????? ?????? ?????? ??????? ????????????? ????? ??????????? ????????? ?????? ???????? ???? ???????? ?????????????? ?? ???????? ?????? ?????????? ?? ?????? ??????????? ?? ?????? ????????
“Fathimah telah memberitahukan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bahwa Abu Jahm dan Mu’awiyah telah melamarnya, dan saya tidak ragu-ragu, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, bahwa lamaran salah satu dari keduanya terjadi setelah lamaran yang lain, dan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pun tidak melarang kedua lamaran tersebut, dan tidak melarang salah satu dari keduanya. Kita juga tidak mendapatkan bahwa Fathimah telah menerima salah satu dari kedua lamaran tersebut. Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melamar Fathimah untuk Usamah, dan beliau tidaklah melamarnya dalam keadaan yang beliau larang (yaitu melamar seorang wanita yang sudah dilamar orang lain).  Saya juga tidak mendapatkan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam melarang perbuatan Mu’awiyah dan Abu Jahm. Dan kebanyakan yang terjadi, bahwa salah seorang dari keduanya melamar terlebih dahulu dari yang lain. Tetapi, jika perempuan yang dilamar tersebut telah menerima lamaran seseorang, maka dalam keadaan seperti, orang lain tidak boleh melamarnya lagi “ ( Al Umm, Beirut, Dar Kutub Ilmiyah, 1993, cet – 1 : Juz  5/ 64  )
Hal itu dikuatkan dengan riwayat yang menyebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah melamar seorang wanita untuk tiga orang : Jarir bin Abdullah, Marwan bin Al Hakam, dan Abdullah bin Umar, padahal Umar belum mengetahui jawaban perempuan tersebut sama sekali. Hal ini menunjukkan kebolehan melamar perempuan yang sudah dilamar orang lain dan dia belum memberikan jawabannya. (Ibnu Qudamah, al Mughni : 9/ 568 )

Keadaan Ketiga :
Perempuan yang dilamar tersebut belum memberikan jawaban secara jelas, hanya saja ada tanda-tanda bahwa dia menerima lamaran tersebut. Maka hukum melamar perempuan yang sudah dilamar dalam keadaan seperti ini, para ulama berbeda pendapat di dalamnya :
Pendapat Pertama: Hukumnya haram, sebagaimana kalau perempuan tersebut sudah menerima lamaran tersebut secara jelas dan tegas. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam salah satu riwayat. Dalilnya adalah keumuman hadits Ibnu Umar yang menyebutkan larangan melamar perempuan yang sudah dilamar.
Pendapat Kedua: Hukumnya boleh, ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat dan Imam Syafi’i dalam qaul jadid (pendapat yang terbaru). Menurut kelompok ini bahwa di dalam hadits Fathimah binti Qais menunjukkan bahwa dia  (Fathimah ) sudah kelihatan tanda-tanda kecenderunganya kepada salah satu dari dua laki-laki yang melamarnya, tetapi walaupun begitu Rasululullah shalallahu alaihi wasallam tetap saja melamarkannya untuk Usamah. Ini menunjukkan kebolehan.
Selain itu, di dalam hadits tersebut tidak disebutkan bahwa nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam bertanya terlebih dahulu sebelum melamarkan untuk Usamah, apakah Fathimah sudah cenderung kepada salah satunya atau belum. Hal ini menunjukkan bahwa kebolehan melamar seorang perempuan secara umum selama belum memberikan jawaban pada lamaran sebelumnya.
Pendapat yang lebih benar dari dua pendapat di atas adalah pendapat pertama yang menyatakan haram hukumnya melamar perempuan yang sudah kelihatan kecenderungannya kepada laki-laki yang melamarnya, walaupun belum diungkapkan dalam kata-kata, karena kecenderungan sudah bisa dianggap sebagai persetujuan. Wallahu a’lam.

????? ??????? ?????????? ?????? ?????????? ???? ???? ???????? ?????????? ???? ???????????? ??? ??????????? ?????? ????? ????????? ?????????????????? ??????? ???? ??????????????? ?????? ?????? ??? ????????? ??????? ??????????? ????? ?????????? ???????? ?????????? ?????? ???????? ?????????? ???????? ??????????? ????? ????? ???????? ??? ??? ??????????? ???????????? ??????????? ????? ????? ??????? ???????? {235}
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan janganlah kamu ber’azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis iddahnya. Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; maka takutlah kepadaNya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.” (Al-Baqarah: 235).
Ini merupakan hukum bagi wanita-wanita yang dalam iddah, baik karena kematian suami atau perceraian talak ketiga dalam kehidupan, yaitu diharamkan bagi selain suami yang telah mentalak tiga untuk menyatakan secara jelas keinginannya untuk meminangnya, itulah yang dimaksudkan dalam ayat,  [ ?????? ???? ??????????????? ??????]   “dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia”.
Adapun sindiran Allah Ta’ala telah meniadakan dosa padanya. Perbedaan antara kedua hal itu adalah bahwa pengakuan yang jelas tidaklah mengandung makna kecuali pernikahan, oleh karena itu diharamkan, karena dikhawatirkan wanita itu mempercepat dan membuat kebohongan tentang selesainya masa iddahnya karena dorongan keinginan menikah. Disini terdapat indikasi tentang dilarangnya sarana-sarana (yang mengantarkan) kepada hal yang diharamkan, dan menunaikan hak untuk suami pertama adalah dengan tidak mengadakan perjanjian dengan selain dirinya selama masa iddahnya.
Adapun sindiran memiliki kemungkinan bermakna pernikahan dan selainnya. Maka ini boleh dilakukan terhadap wanita yang ditalak tiga tersebut seperti dia berkata kepada wanita itu, “Sesungguhnya saya ini berkeinginan menikah dan saya sangat senang sekali kalau kamu memberi pendapatmu untukku ketika iddahmu telah selesai” atau semacamnya. Hal ini boleh karena tidak seperti pernyataan secara tegas yang dalam dirinya ada dorongan yang kuat dalam hal tersebut. Demikian juga seseorang boleh menyembunyikan dalam dirinya keinginan menikah dengan seorang wanita yang masih dalam masa iddahnya apabila telah selesai iddahnya. Karena itu Allah berfirman, { ???? ???????????? ??? ??????????? ?????? ????? ????????? ?????????????????? } “Atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka”. Perincian ini semuanya adalah mengenai hukum-hukum sebelum akad nikah, sedangkan akad nikah maka tidak boleh dilakukan, { ?????? ???????? ?????????? ???????? } “sampai habis iddahnya”, artinya, sempurna masa iddahnya.
{ ??????????? ????? ????? ???????? ??? ??? ??????????? } “Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu”, maksudnya, dan berniatlah kalian yang baik dan janganlah kalian berniat yang jelek karena takut akan hukumanNya dan mengharap pahalaNya, [??????????? ????? ????? ??????? ] “Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun” bagi orang-orang yang melakukan dosa-dosa lalu dia bertaubat darinya dan kembali kepada Rabbnya, { ??????? } “Lagi Maha Penyantun”, di mana Allah tidak mempercepat hukuman atas kemaksiatan orang-orang yang bermaksiat, padahal Allah mampu melakukannya.
Pelajaran dari Ayat:
·         Haramnya mengkhitbah (melamar) seorang wanita yang masih dalam masa iddah (masa iddahnya belum selesai), secara terang-terangan dengan lafadz (ucapan yang jelas)
·         Bolehnya menawarkan diri kepada wanita tersebut dengan sindiran (isyarat) atau ucapan-ucapan yang tidak terang-terangan (seperti ucapan: ‘sesungguhnya saya ingin sekali menikah’, atau ‘jika masa iddahmu telah selesai bermusyawarahlah denganku jika engkau ingin menikah’, atau ‘saya sangat senang dengan wanita sepertimu’, atau ucapan-ucapan yang semisal).
·         Haramnya melakukan aqad nikah terhadap wanita yang sedang menjalani masa iddah, dan hal ini tentunya lebih utama keharamannya selama khitbah (melamar) diharamkan. Dan barangsiapa yang melakukan aqad nikah dengan wanita yang belum habis masa iddahnya maka keduanya di fash (dipisahkan) dan tidak dia halal lagi baginya setelah hukuman tersebut selamanya.
·         Wajibnya muraqabatullah (merasa adanya pengawasan Allah Ta’ala) dalam keadaan sendirian atau dihadapan khalayak ramai, dan membentengi diri dari peyebab-penyebab terjerumusnya kepada perbuatan haram.
Bersambung insya Allah…
Di kumpulkan oleh : Abu Thalhah Andri Abdul Halim

ADAB-ADAB MELAMAR PINANGAN

Pelamaran adalah semua perbuatan yang dilakukan yang bertujuan untuk melangsungkan pernikahan. Karenanya, sebelum terjun membicarakan tentang adab-adab melamar, maka ada baiknya jika kita menyebutkan beberapa dalil dari Al-Qur`an dan Sunnah yang menunjukkan keutamaan pernikahan yang sekaligus menunjukkan keutamaan melamar, karena tidak mungkin ada pernikahan kecuali didahului oleh proses pelamaran.
Ada beberapa dalil dari Al-Qur`an yang menunjukkan keutamaan pernikahan, di antaranya:
·         Surah Ar-Rum ayat 21.
?????? ???????? ???? ?????? ????? ????? ??????????? ?????????? ????????????? ????????? ???????? ????????? ?????????? ?????????? ????? ??? ?????? ???????? ????????? ??????????????
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”. (QS. Ar-Rum: 21)
Surah Ar-Ra’d ayat 38.
???????? ??????????? ??????? ???? ???????? ??????????? ?????? ?????????? ???????????? ????? ????? ????????? ??? ???????? ??????? ?????? ???????? ?????? ??????? ?????? ???????
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mu`jizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada Kitab (yang tertentu)”. (QS. Ar-Ra’d: 38)
·         Surah Ali ‘Imran ayat 38.
????????? ????? ?????????? ??????? ????? ????? ???? ??? ??? ????????? ?????????? ????????? ??????? ??????? ?????????
“Di sanalah Zakariya mendo`a kepada Tuhannya seraya berkata: “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do`a”. (QS. Ali-‘Imran: 38)
·         Surah Al-Furqan ayat 54.
?????? ??????? ?????? ???? ??????? ??????? ?????????? ??????? ????????? ??????? ??????? ????????
“Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air, lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa”. (QS. Al-Furqan: 54)
Adapun sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-, maka telah datang dari beberapa orang sahabat, di antaranya:
1. Hadits Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-.
Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepada tiga orang sahabat yang mau memfokuskan untuk beribadah dan meninggalkan hal-hal yang dihalalkan, di antaranya adalah pernikahan:
“Barangsiapa yang membenci sunnahku maka bukan termasuk golonganku”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
2. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud -radhiallahu ‘anhu-. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah memiliki kemampuan maka hendaknya dia menikah, karena hal tersebut lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu maka hendaknya dia berpuasa karena puasa adalah benteng baginya”. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
Beberapa perkara penting sebelum pelamaran
Sebelum melakukan pelamaran, seorang lelaki hendaknya memperhatikan beberapa perkara berikut sebelum menentukan wanita mana yang hendak dia lamar. Hal ini selain berguna untuk melancarkan proses pelamaran nantinya, juga bisa mencegah terjadinya perkara-perkara yang tidak diinginkan antara kedua belah pihak.
Berikut penyebutan perkara-perkara tersebut:
1. Tidak boleh melamar wanita yang telah lebih dahulu dilamar oleh saudaranya sesama muslim.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
“Tidak boleh seorang lelaki melamar di atas lamaran saudaranya”1.
Dalam sebuah riwayat:
“Kecuali jika pelamar pertama meninggalkan lamarannya atau dia (pelamar pertama) mengizinkan dirinya”2.
Batasan dari larangan ini adalah kapan diketahui bahwa pelamar pertama telah meridhoi (baca: setuju dengan) wanita tersebut dan demikian pula sebaliknya maka tidak boleh bagi orang lain untuk melamar wanita tersebut. Jika tidak diketahui hal itu atau bahkan diketahui bahwa salah satu pihak tidak meridhoi pihak lainnya maka boleh ketika itu orang lain untuk melamar wanita tersebut. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada sahabiyah Fathimah bintu Qois, tatkala dia sudah lepas dari ‘iddah thalaqnya, maka Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm bersamaan melamarnya3.
Catatan: Sebagian ulama membolehkan seseorang melamar wanita yang telah dilamar jika pelamar pertama adalah orang fasik atau ahli bid’ah, wallahu A’lam.
2. Hendaknya masing-masing baik pihak pria maupun wanita memperhatikan hal-hal berikut:
(a). Kesholehan. Hal ini berdasarkan hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya, maka pilihlah wanita yang bagus agamanya”.
Karenanya, hendaknya dia memilih wanita yang taat kepada Allah dan bisa menjaga dirinya dan harta suaminya baik ketika suaminya hadir maupun tidak. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda tatkala beliau ditanya tentang wanita yang paling baik:
“Wanita yang taat jika disuruh, menyenangkan jika dilihat, serta yang menjaga dirinya dan harta suaminya”4.
Bahkan Allah -Ta’ala- berfirman:                                
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An-Nisa`: 34)
Qonitat, Sufyan Ats-Tsaury -rahimahullah- berkata, “Yakni wanita-wanita yang mentaati Allah dan mentaati suami-suami mereka”5.
Dan Imam Qotadah bin Di’amah berkata menafsirkan “hafizhotun …”,
“Wanita-wanita yang menjaga hak-hak Allah yang Allah bebankan atas mereka serta wanita-wanita yang menjaga (dirinya) ketika suaminya tidak ada di sisinya”6.
Karenanya pula dilarang menikah dengan orang yang yang tidak menjaga kehormatannya, yang jika pasangannya tidak ada di sisinya dia tidak bisa menjaga kehormatannya, semacam pezina (lelaki dan wanita) atau wanita yang memiliki PIL (pria idaman lain) dan sebaliknya. Imam Al-Hasan Al-Bashry -rahimahullah- berkata:
“Tidak halal bagi seorang muslim (untuk menikahi) al-musafahah7 dan dzati khadanin 8?9.
‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash -radhiallahu ‘anhuma- berkata:
“Sesungguhnya Abu Martsad Al-Ghanawy -radhiallahu ‘anhu- datang menemui Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- meminta izin kepada beliau untuk menikahi seorang wanita pezina yang dulunya wanita itu adalah temannya saat jahiliyah yang bernama ‘Anaq. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- diam lalu turunlah firman Allah – Ta’ala-, ["Pezina wanita, tidak ada yang boleh menikahinya kecuali pezina laki-laki atau musyrik laki-laki"10]. Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memanggilnya lalu membacakan ayat itu kepadanya dan beliau bersabda, ["Jangan kamu nikahi dia"]11.
Demikian pula dibenci menikahi orang yang fasik atau ahli bid’ah, berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits Abu Hurairah di atas.
(b). Subur lagi penyayang, karenanya dibenci menikah dengan lelaki atau wanita yang mandul. Dari hadits Ma’qil bin Yasar -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
“Pernah datang seorang lelaki kepada Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu berkata,”Saya menyenangi seorang wanita yang memiliki keturunan yang baik lagi cantik hanya saja dia tidak melahirkan (mandul), apakah saya boleh menikahinya?”, beliau menjawab, ["tidak boleh"]. Kemudian orang ini datang untuk kedua kalinya kepada beliau (menanyakan soal yang sama) maka beliau melarangnya. Kemudian dia datang untuk ketiga kalinya, maka beliau bersabda: ["Nikahilah wanita-wanita yang penyayang lagi subur, karena sesungguhnya saya berbangga dengan banyaknya jumlah kalian pada Hari Kiamat"]12.
An-Nasa`iy -rahimahullah- memberikan judul bab untuk hadits ini dengan ucapannya, “Bab: Makruhnya menikahi orang yang mandul”.
(c). Hendaknya memilih wanita yang masih perawan. Hal ini berdasarkan Jabir  bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- bahwasanya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepadanya, “Wanita apa yang kamu nikahi?”, maka dia menjawab, “Saya menikahi seorang janda”, maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Tidakkah kamu menikahi wanita yang perawan?! yang kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu?!”13.
d. ???
3. Hendaknya wali dari seorang wanita menikahkan walinya dengan lelaki yang sebaya dengannya, maka janganlah dia menikahkan wanita yang masih muda dengan lelaki yang sudah berumur. Dari Buraidah ibnul Hushoib -radhiallahu ‘anhu- beliau berkata, “Abu Bakr dan ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma- pernah melamar Fathimah (anak Nabi), maka Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
“Sesungguhnya dia masih muda”.
Kemudian Fathimah dilamar oleh ‘Ali maka beliau (Nabi) menikahkannya”14.
4. Boleh bagi seorang lelaki untuk menawarkan putrinya atau saudarinya atau wanita yang ada di bawah perwaliannya kepada seorang lelaki yang sholih.
Akan datang keterangannya di awal bab setelah ini.
5. Hendaknya wali seorang wanita menikahkan wanita yang dia wakili dengan lelaki yang baik dan tampan, dan dia tidak menikahkannya dengan orang yang jelek kecuali dengan seizin wanita tersebut. Imam Ibnul Jauzy -rahimahullah- berkata,
“Disunnahkan bagi orang yang akan menikahkan putrinya untuk mencari pemuda yang indah rupanya, karena wanita juga menyenangi apa yang disenangi oleh lelaki (berupa keindahan wajahpent.)” 15.
Demikian pula dia jangan menikahkan putrinya kepada orang yang diduga kuat tidak akan memenuhi kewajibannya berupa memberi nafkah kepada keluarganya. Sebagaimana ketidaksetujuan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala Fathimah bintu Qois dilamar oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan:
“Adapun Mu’awiyah, maka dia adalah lelaki yang sangat miskin lagi tidak mempunyai harta sama sekali”.
Demikian halnya jika yang melamar anaknya adalah seorang yang dianggap tidak baik pergaulannya dalam berkeluarga, sebagaimana komentar Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap Abu Jahm yang juga melamar Fathimah bintu Qois:
“Adapun Abu Jahm, maka dia adalah orang yang sering memukuli istrinya”16.


Previous
Next Post »

Silahkan berkomentar dengan bijak serta sesuai dengan topik ConversionConversion EmoticonEmoticon